Kamis, 26 Mei 2011

INSEKTISIDA MIKROBA

Oleh : I Wayan Redhana
Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, IKIP Negeri Singaraja

1. Pendahuluan
            Insekta adalah sekelompok organisme yang keberadaannya sangat banyak di alam. Insekta biasanya memberikan pengaruh negatif terhadap manusia dalam hal : 1) insekta dapat menyebabkan kerusakan pada hasil-hasil panen dan insekta berfungsi sebagai vector penyakit bagi manusia dan hewan. Selama tahun 1940-an, sejumlah insektisida kimia telah dikembangkan untuk mengontrol perkembangan populasi insekta yang berbahaya tersebut. Salah satu dari insektisida ini adalah hidrokarbon terklorinasi yang sudah disintesis pada tahun 1870-an. Kemampuan DDT sebagai sebagai insektisida baru dikenal pada akhir tahun 1930-an. DTT terbukti sangat efektif membubuh dan mengendalikan beberapa spesies insekta. Hidrokarbon terklorinasi, seperti DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane), berfungsi menyerang sistem saraf dan jaringan otot dari insekta. Hidrokarbon terklorinasi yang lain, seperti dieldrin, aldrin, chlordane, lindane, dan toxophene sudah disintesis dan digunakan sebagai insektisida.
            Klas yang lain dari insektisida kimia disebut organofosfat, meliputi malathion, parathion, dan diazinon. Senyawa organofosfat ini pertama kali digunakan untuk perang. Selanjutnya, senyawa ini digunakan untuk mengendalikan populasi insekta dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Enzim ini berfungsi untuk menghidrolisis transmiter saraf, asetilkolin. Insektisida ini merusak sistem neuron dalam otak insekta.
            Para ahli telah menyadari bahwa hidrokarbon terklorinasi mempunyai pengaruh samping yang sangat berbahaya bagi binatang, ekosistem, dan bahkan manusia. Hidrokarbon terklorinasi, misalnya DTT, telah ditemukan di lingkungan dan akumilasi tertinggi ditemukan dalam rantai makanan. Bioakumulasi dalam jaringan lemak akan memberikan pengaruh yang signifikan pada beberapa organisme. Sebagai contoh, di Amerika Utara, beberapa spesies burung, seperti burung elang, burung pipit (gereja), burung undan coklat, burung laut telah terkontaminasi oleh DDT.
            Selama tahun 1950-an, populasi hama insekta target menjadi bertambah resisten terhadap insektisida kimia, sehingga konsentrasi insektisida kimia lebih tinggi harus digunakan agar dapat mengendalikan spesies hama insekta tersebut. Insektisida kimia kurang spesifik sehingga insekta yang menguntungkan juga dibunuh bersama dengan hama insekta target. Kenyataannya, predator hama insekta target lebih mudah dibunuh oleh insektisida kimia daripada hama insekta targetnya sehingga insektisida kimia ini kurang spesifik terhadap sasaran.
            Dengan memperhatikan semua kekurangan dari penggunaan insektisida kimia, insektisida alternatif untuk mengendalikan insekta yang berbahaya telah dicari selama lebih dari 20 tahun. Insektisida yang dihasilkan secara alami oleh mikroorganisme atau tanaman merupakan pilihan yang tepat. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan pilihan yang aman, spesifik, efektif dan biodegradable. Kebaikan insektisida alami adalah sangat spesifik terhadap spesies insekta target. Namun, kelemahannya adalah daya bunuhnya rendah dan biaya produksinya tinggi. Sisi negatif ini dapat diatasi dengan teknologi DNA rekombinan. Sekarang, para peneliti telah memanipulai gen yang mengkode toksin insektisida mikroba untuk meningkatkan keefektifan dari insektisida tersebut.

2. Kerja dan Penggunaan Toksin Insektisida Bacillus thuringiensis
            Insektisida mikroba adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh mikroba yang berfungsi untuk membunuh spesies insekta atau mempunyai kemampuan menginfeksi insekta target spesifik. Insektisida mikroba yang paling efektif dan paling sering digunakan adalah toksin yang disintesis oleh Bacillus thuringiensis. Bakteri ini terdiri dari sejumlah strain yang berbeda (subspecies disingkat subsp.). Masing-masing subspecies menghasilkan toksin yang berbeda yang membunuh insekta yang berbeda pula. B. thuringiensis subsp. kurstaki, misalnya, menghasilkan toksin yang membunuh larva lepidopteran meliputi moth, butterfly, skipper, cabbage worm, dan spruce budworm. B. thuringiensis subsp. israelensis membunuh diptera seperti, mosquito dan black fly. B. thuringiensis subsp. tenebrionis (juga dikenal sebagai san diego) efektif membunuh beetle, seperti potato beetle dan boll weevil. Ada banyak strain B. thuringiensis yang lain dan masing-masing menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap insekta yang berbeda.
            Kerja toksin insektisida B. thuringiensis mengalami hambatan dalam aplikasinya. Untuk membunuh hama insekta, B. thuringiensis harus dicerna oleh insekta. Kontak bakteri atau toksin insektisida dengan permukaan insekta tidak mempunyai pengaruh terhadap insekta target. B. thuringiensis umumnya diterapkan dengan penyemprotan, sehingga bakteri ini selalu dicampurkan dengan zat penarik insekta untuk meningkatkan kemungkinan insekta mencerna toksin. Akan tetapi, insekta yang terdapat di dalam tanaman atau insekta yang menyerang akar tanaman tidak dapat dijangkau oleh toksin insektisida B. thuringiensis dengan penyemprotan, sehingga strategi yang lain harus dipilih untuk mengendalikan hama insekta tersebut. Salah satu kemungkinannya adalah membuat tanaman transgenik yang membawa dan mengekspresikan gen toksin B. thuringiensis. Faktor pembatas kedua dari kerja toksin insektisida B. thuringiensis adalah toksin ini hanya membunuh insekta pada tahap perkembangan spesifik. Dengan demikian, toksin harus diterapkan ketika populasi hama pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya.
            B. thuringiensis subsp. kurstaki pertama kali ditemukan pada tahun 1902. Sampai dengan tahun 1951, bakteri ini belum diketahui mempunyai kemampuan membunuh insekta. Mulai tahun 1950-an, B. thuringiensis subsp. kurstaki sangat penting artinya dan telah digunakan untuk mengontrol spruce budworm di Canada. Pada tahun 1979, kira-kira 1% atau kira-kira 2 juta hektar hutan di Canada disemprot dengan B. thuringiensis subsp. kurstaki untuk melawan spruce budworm. Pada tahun 1986, penggunaan B. thuringiensis subsp. kurstaki meningkat drastis. Bakteri ini digunakan untuk menangani kira-kira 74% hutan di Canada yang diserang oleh spruce budworm. Di negara lain, B. thuringiensis subsp. kurstaki digunakan untuk membasmi caterpillars, gypsy moth, cabbage worm, cabbage looper, dan tobacco hornworm. Kendala utama aplikasi B. thuringiensis subsp. kurstaki adalah harganya 1,5 sampai 3 kali lebih mahal dari insektisida kimia.
            Aktivitas insektisida dari B. thuringiensis subsp. kurstaki dan strain yang lain terdapat dalam struktur yang sangat besar yang disebut dengan kristal paraspora, disintesis pada tahap sporulasi bakteri. Kristal paraspora terdiri dari 20-30% massa kering dari kultur sporulasi dan penyusun utama adalah protein (~95%) dan sisanya adalah sejumlah kecil karbohidrat (~5%). Kristal merupakan agregasi satu jenis protein yang dapat didisosiasikan oleh basa menjadi subunitnya, masing-masing dengan massa molekul kira-kira 250 kDa. Kira-kira 20 residu glukosa dan 10 residu manosa diasosiasikan pada masing-masing subunit. Subunit dapat didisosiasikan secara in vitro oleh b-merkaptoetanol (yang mereduksi ikatan disulfida) menjadi dua rantai polipeptida identik, masing-masing dengan massa molekul kira-kira 130 kDa (Gambar 1).


Gambar 1. Representasi skema dari kristal paraspora B. thuringiensis. Masing-masing subunit protein 250 kDa dari kristal paraspora mengandung dua polipeptida 130 kDa. Pengubahan protoksin 130 kDa menjadi toksin aktif 68 kDa memerlukan kombinasi basa (pH 7,5 – 8,0) dan kerja protease spesifik, keduanya ditemukan dalam usus insekta.



 
 Gambar 2. Insersi toksin B. thuringiensis ke dalam membran sel epitel usus insekta. Toksin membentuk saluran ion antara sitoplasma sel dan lingkungan luar.
Kristal paraspora bukan merupakan bentuk aktif dari insektisida mikroba, melainkan merupakan protoksin, yaitu precursor dari toksin aktif. Jika kristal paraspora dicerna oleh insekta target, protoksin diaktivasi di dalam usus insekta oleh basa dengan pH 7,5 – 8,0 dan protease pencernaan spesifik, dan mengubah protoksin menjadi toksin aktif dengan massa molekul kira-kira 68 kDa (Gambar 1). Dalam bentuk aktif, protein toksin terinsersi ke dalam membran dari sel epitel usus dan membentuk saluran ion sehingga terjadi kehilangan ATP seluler (Gambar 2). Kira-kira 15 menit setelah saluran ion terbentuk, metabolisme sel berhenti, insekta berhenti makan dan mengalami dehidrasi dan akhirnya mati. Karena pengubahan protoksin menjadi toksin aktif memerlukan basa dan protease spesifik, non target seperti manusia dan hewan pertanian, seperti burung, tidak dipengaruhi.
Untuk pengendalian hama insekta secara biologi, B. thuringiensis subsp. kurstaki diterapkan dengan penyemprotan kira-kira 1,3 sampai 2,6. 108 spora per kaki2 pada areal target. Waktu hidup kristal paraspora sangat pendek di lingkungan karena kristal paraspora sangat sensitive terhadap sinar matahari. Sinar matahari dapat mendegradasi lebih dari 60% residu triptofan dari kristal paraspora selama 24 jam. Kristal paraspora mungkin tahan di lingkungan selama satu hari atau bahkan selama sebulan tergantung pada adanya sinar matahari.
           
3. Isolasi Gen Toksin
            Untuk mengembangkan insektisida B. thuringiensis yang mempunyai kemampuan membunuh lebih besar dan lebih luas terhadap sejumlah spesies insekta, gen protoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis perlu diisolasi dan dikarakterisasi. Sebelum mengisolasi dan mengkarakterisasi gen protoksin, perlu ditentukan apakah gen protoksin terletak dalam DNA plasmid atau DNA kromosom. Untuk menguji gen protoksin yang terdapat dalam DNA plasmid, sumber strain B. thuringiensis dapat dikonjugasikan dengan strain yang tidak mempunyai aktivitas insektisida. Jika strain yang tidak mempunyai aktivitas insektisida sekarang mendapat kemampuan mensintesis toksin insektisida, maka gen protoksin tersebut terdapat dalam DNA plasmid karena pemindahan DNA kromosom selama konjugasi jarang terjadi.
            Prosedur untuk mengisolasi DNA pengkode protoksin sama dengan prosedur umum dilakukan. Sel B. thuringiensis ditumbuhkan dalam kultur dan dilisis. DNA sel total diisolasi dan dipisahkan menjadi fraksi DNA plasmid dan DNA kromosom dengan sentrifugasi gradien CsCl. Jika gen protoksin merupakan bagian dari genom (kromosom), pustaka genom harus dibentuk dari DNA kromosom. Sebaliknya, jika gen protoksin dikode oleh DNA plasmid, DNA plasmid dapat difraksionasikan lebih lanjut menggunakan sentrifugasi gradien sukrosa, yang memisahkan plasmid berdasarkan ukurannya.
B. thuringiensis subsp. kurstaki mengandung gen protoksin insektisida yang terdapat pada salah satu dari tujuh plasmid yang berbeda, masing-masing dengan ukuran 2,0; 7,4; 7,8; 8,2; 14,4; 45; dan 71 kb. Untuk menentukan DNA plasmid B. thuringiensis subsp. kurstaki yang membawa gen protoksin, sentrifugasi gradien sukrosa diterapkan untuk memisahkan ke tujuh DNA plasmid menjadi menjadi tiga fraksi, yaitu plasmid dengan ukuran kecil (2,0 kb), sedang (7,4; 7,8; 8,2; dan 14,4 kb), dan besar (45 dan 71 kb). Fraksi yang mengandung plasmid ukuran kecil (2,0 kb) dibuang karena plasmid ini terlalu kecil untuk mengkode protein yang equivalen dengan protoksin 130 kDa. Protoksin insektisida paling sedikit dikode oleh DNA dengan ukuran 4,0 kb. Fraksi plasmid dengan ukuran sedang dan besar selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi Sau3AI dan kemudian diligasi ke dalam sisi BamHI dari plasmid pBR322.
4. Rekayasa Genetika Strain B. thuringiensis
        Pada kondisi normal, protein protoksin B. thuringiensis hanya disintesis selama fase pertumbuhan sporulasi. Ini sangat menguntungkan di mana gen toksin ditranskripsi dan ditranslasi selama pertumbuhan vegetatif. Produksi toksin insektisida selama pertumbuhan vegetatif akan memungkinkan toksin disintesis melalui proses fermentasi kontinyu, sehingga biaya produksi toksin dapat ditekan. (Fermentasi kontinyu diselenggarakan pada skala lebih kecil dan lebih murah dalam bioreactor daripada fermentasi bath konvensional.
Selama sporulasi B. thuringiensis, factor inisiasi spesifik (faktor sigma) berinteraksi dengan promoter dari gen yang aktif hanya dalam bagian siklus hidup bakteri. Factor ini mengaktivasi transkripsi pada fase sporulasi. Jika gen toksin B. thuringiensis dengan promoter spesifik diklon dan diekspresikan dalam sel Bacillus subtilis atau B. megaterium, transkripsi gen hanya terjadi selama fase sporulasi. Dengan demikian, untuk mengekspresikan toksin insektisida B. thuringiensis selama pertumbuhan vegetatif, perlu menempatkan gen penginduksi toksin di bawah pengendalian promoter yang aktif selama pertumbuhan vegetatif.
Jika fragmen DNA mengandung gen toksin yang tidak mengandung promoter aslinya diklon dalam plasmid di bawah pengendalian promoter konstitutif dari gen resisten tertasiklin yang diisolasi dari plasmid Bacillus cereus, kemudian dimasukkan ke dalam B. thuringiensis, protein aktif akan dihasilkan secara terus-menerus selama siklus hidup sel (Gambar 3). Di samping itu, jika konstruksi ini digunakan untuk mentransform mutan defektif sporulasi dari B. thuringiensis, sintesis toksin terjadi tanpa harus mengalami fase sporulasi. Pada kondisi ini, sintesis toksin lebih efisien daripada sel wild type; yaitu jumlah protein toksin yang diperoleh lebih besar dalam sel yang ditransformasi, dan waktu serta substrat yang diperlukan lebih sedikit. Gen toksin yang telah dimodifikasi ini dapat diintegrasikan ke dalam DNA kromosom dari B. thuringiensis yang defektif sporulasi. Manipulasi ini akan menjamin bahwa gen insektisida toksin tidak akan hilang selama ketidakstabilan plasmid pada proses fermentasi kontinyu.

Gambar 3. Prosedur untuk subkloning gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki sehingga gen ini diekspresikan secara kontinyu di bawah pengendalian promoter gen resisten tetrasiklin (pTet). Gen toksin B. thuringiensis yang diisolasi dihilangkan promoternya dengan menggunakan enzim restriksi 1 dan 2 (RE1 dan RE2). Gen toksin digabungkan oleh DNA T4 ligase ke dalam vektor plasmid sehingga terletak di bagian downstream dari pTet menggantikan posisi gen resisten tetrasiklin yang telah dihilangkan sebelumnya oleh RE1 dan RE2.
Hasil panen dapat diserang oleh lebih dari satu jenis spesies insekta. Oleh karena itu, perlu untuk membuat toksin insektisida yang efektif melawan insekta target pada spektrum yang luas. Toksin insektisida yang mempunyai spesifisitas yang luas dapat diperoleh melalui : 1) mentransfer gen toksin tertentu (misalnya toksin terhadap diptera) ke dalam strain B. thuringiensis yang normalnya mensintesis toksin spesifik terhadap spesies yang berbeda (misalnya toksin terhadap coleoptera), atau 2) menggabungkan dua gen toksik spesifik terhadap spesies yang berbeda sehingga dihasilkan toksin yang bekerja ganda  (toksin hybrid).
            Untuk menguji apakah spektrum hama insekta target dapat diperluas atau tidak, gen toksin insektisida dari B. thuringiensis subsp. aizawai dan tenebrionis diklon dalam vector shuttle. Konstrukdi genetik ini kemudian dimasukkan melalui elektroporasi ke dalam B. thuringiensis subsp. aizawai, kurstaki, israelensis, dan tenebrionis, dan semua strain yang ditransformasi dites toksisitasnya terhadap larva yang berbeda.
        Toksisitas gen toksin induk yang dihasilkan secara endogen dipertahankan dan gen toksin yang dimasukkan juga mengekspresikan toksin khusus dari sumbernya (Tabel 1). Di samping itu, jika gen toksin B. tenebrionis dimasukkan ke dalam strain B. israelensis, transforman resultan yang dihasulkan sangat toksik terhadap Pieris brassicae (lalat putih kul atau kubis).
Tabel 1. Toksisitas strain B. thuringiensis yang ditransformasi dan yang ditemukan secara alamiah terhadap insekta Pieris brassicae (lalat putih kul atau kubis), Aedes aegypti (nyamuk), dan Phaedon cochleariae (kumbang).a
Sumber toksin
Toksisitas terhadap Pieris
Toksisitas terhadap Aedes
Toksisitas terhadap Phaedon
DNA induk
DNA yang dimasukkan
aizawai
tidak ada
++
+
-
israelensis
tidak ada
-
++
-
israelensis
aizawai
++
++
-
israelensis
tenebrionis
+
++
++
kurstaki
tidak ada
++
+
-
kurstaki
tenebrionis
++
+
++
tenebrionis
tidak ada
-
-
++
tenebrionis
aizawai
++
+
+
aDalam eksperimen ini, toksisitas dilevel sebagai berikut : ++, 0 sampai 5% daun dikonsumsi (untuk Phaedon dan Pieris) atau 100% terjadi kematian dalam waktu 1 jam (Aedes); +, 5 sampai 50% daun dikonsumsi (untuk Phaedon dan Pieris) atau 50 sampai 100% terjadi kematian dalam waktu 24 jam (Aedes); -, > 50% daun dikonsumsi (Phaedon dan Pieris) atau tidak terjadi kematian dalam waktu 24 jam (Aedes). Tanaman untuk tes adalah daun kul (untuk Pieris) atau daun turnip (untuk Phaedon).
  Spesifisitas toksin insektisida B. thuringiensis dari sumber yang berbeda ditemukan menempati daerah pusat dari masing-masing molekul protein. Domain toksin ini disebut dengan daerah hipervariabel, karena daerah ini berbeda antara toksin yang satu dengan toksin yang lain. Sisanya dari molekul protein adalah daerah tetap. Dengan mengetahui domain toksin yang bertanggung jawab terhadap spesifisitas insekta, pembuatan molekul toksin hibrid spesifik terhadap insekta dapat dilakukan dengan cara yang lebih sistematis.
Protein insektisida B. thuringiensis subsp. israelensis sangat toksik jika dicerna oleh larva nyamuk. Akan tetapi, krista paraspora dari spesies ini tenggelam dengan cepat setelah disemprotkan di atas air sehingga efektivitasnya terhadap larva nyamuk dan daya bunuhnya berkurang. Untuk mengatasi masalah ini, gen toksin insektisida dapat dimasukkan ke dalam organisme yang merupakan sumber makanan bagi larva nyamuk. Calon organisme yang cocok untuk tujuan ini adalah Synechocystis dan Synechcoccus spp. serta sianobacteri fotosintesis yang merupakan sumber makanan utama bagi larva nyamuk. Organisme lain yang potensial dijadikan induk untuk ekspresi gen toksin isnektisida asing adalah Caulobacter crescentus, suatu bakteri air yang umumnya ditemukan tersebar secara luas dalam lingkungan air, di mana larva nyamuk makan. Gen toksin dari B. thuringiensis subsp. israelensis dimasukkan dan diekspresikan dalam organisme ini. Pada percobaan lain, toksin insektisida dihasilkan oleh sianobakteri yang ditransformasi sangat toksik terhadap larva nyamuk.
Akar beberapa tanaman dapat diserang oleh insekta. Untuk mengatasi maslah ini, gen toksin dari strain  B. thuringiensis dimasukkan ke dalam spesies bakteri yang berkoloni di dekat akar tanaman (rhizosphere). Bakteri yang telah direkayasa dapat dimasukkan ke dalam tanah, di mana bakteri ini dapat mensintesis dan membebaskan toksin insektisida ke dalam areal di sekitar akar tanaman. Dengan demikian, bakteri ini akan melindung akar tanaman dari serangan insekta. Di samping itu, selama bakteri yang telah direkayasa dapat hidup dalam tanah, maka penyemprotan dengan insektisida biologi atau kimia tidak diperlukan lagi. Pendekatan ini sudah diuji pada skala kecil. Gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki dimasukkan ke dalam DNA kromosom dari strain Pseudomonas fluorescens yang berkoloni pada akar jagung. Integrasi gen toksin dicapai sebagai berikut.
1)     Komponen transposon Tn5 yang sudah diklon dalam plasmid dimodifikasi secara genetik dengan mengubah batas kiri dan kannanya dan menghilangkan bagian transposasenya. Komponen Tn5 yang telah diubah tidak dapat didihilangkan dari plasmid, bahkan oleh transposase eksogen.
2)    Gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki yang telah diisolasi digabungkan ke dalam bagian tengah dari komponen Tn5 yang telah diubah dalam plasmid dan ditempatkan di bawah kontrol promoter konstitutif.
3)    Komponen Tn5 wild-type dimasukkan ke dalam kromosom dari strain P. fluorescens yang berkoloni di sekitar akar.
4)    Plasmid yang membawa komponen Tn5 yang telah diinserikan gen toksin dimasukkan ke dalam bakteri induk yang mempunyai komponen Tn5 wild-type terintegrasi.
5)    Adanya daerah homolog memungkinkan terjadinya persilangan sehingga terjadi pertukaran komponen Tn5 yang diinsersi gen toksin dan komponen Tn5 wild type. Dengan demikian, komponen Tn5 yang membawa gen toksin terintegrasi ke dalam DNA kromosom, secara bersamaan kromoson kehilangan komponen Tn5 wild-type.
Gen toksin yang terintegrasi dalam DNA kromosom tidak akan hilang selama pertumbuhan dalam skala besar di laboratorium atau setelah pembebasan mikroorganisme ke lingkungan. Di samping itu, kemungkinan transfer gen toksin dari mikroorganisme yang satu ke mikroorganisme yang lain di dalam lingkungan sangat rendah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa P. fluorescens yang telah direakayasa sangat toksik terhadap larva ulat tembekau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dukungan dan Komentarnya...