Minggu, 29 Mei 2011

Analisis Situasi Guru Kimia

Dituangkan dalam  IbM Guru Kimia
oleh UNDIKSHA Singaraja

Percepatan arus informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat dasyat, dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas. Untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia  yang berkualitas diperlukan usaha yang efektif dan efisien. Salah satu cara penting dan ampuh adalah melalui pendidikan.

Pada hakikatnya, pendidikan adalah suatu usaha penyiapan subjek didik untuk menghadapi lingkungan hidup yang selalu mengalami perubahan yang semakin pesat. Pendidikan juga merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya (Raka Joni, 1983: 57). Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (Sisdiknas, Pasal 3),  yakni   berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas Nomor 20/2003). Dengan demikian, melalui pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi maupun masyarakat, serta mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang mampu berpikir global (think globally), dan mampu bertindak lokal (act loccaly), serta dilandasi oleh akhlak yang mulia (Mulyasa, 2007: 4)
Namun pendidikan di Indonesia saat ini masih menjadi sorotan berbagai pihak. Umumnya memberikan berbagai komentar miring terhadap kebijakan yang diambil mulai dari kurikulum yang selalu berubah, sarana dan prasarana yang kurang memadai, hingga rendahnya mutu guru yang berimplikasi pada rendahnya hasil belajar peserta didik. Rendahnya mutu guru karena faktor kondisi yang masih mismatch dalam hal penempatan guru yang tidak merata, dan kualifikasi pendidikan guru yang tidak berkelayakan untuk mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya (Supriadi, 2003: 74). Di samping itu, berbagai permasalahan kontroversial seperti hasil ujian akhir nasional, disatu sisi tercapai tingkat kelulusan yang sangat tinggi dan disatu sisi tercapai hasil kelulusan yang sangat rendah. Hal ini semakin menambah kesenjangan dunia pendidikan. Walaupun di lain pihak, ada secercah harapan yang mampu membuat bangga prestasi dunia pendidikan di Indonesia, misalnya prestasi siswa-siswi dalam ajang olimpiade sains tingkat Internasional, tetapi itu belum menggambarkan prestasi secara nasional. Kesenjangan wawasan dan mutu pembelajaran antar wilayah bukan semata karena fasilitas pembelajaran, tetapi yang tidak kalah penting adalah kesenjangan kompetensi guru untuk menyederhanakan konsep-konsep sains dalam pembelajaran (Sarman, 2007: 1).
Rendahnya hasil belajar kimia siswa, juga terjadi pada siswa SMA Negeri 1 Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Berdasarkan hasil telaah dokumentasi, didapatkan bahwa hasil belajar kimia siswa kelas X pada  SMA Negeri 1 Busungbiu, ditinjau dari hasil evaluasi akhir semester disajikan dalam Tabel 1.1 sebagai berikut.
 Tabel 1.1 Rerata Nilai Evaluasi Akhir Semester (EAS) Mata            
                Pelajaran Kimia Siswa Kelas X pada SMA Negeri 1Busungbiu

Semester
Tahun Pelajaran
2006/2007
2007/2008
1
54,47
52,55
2
58,64
56,35
Rerata
56,56
54,45
(Sumber: TU SMA Negeri 1 Busungbiu )
Dari hasil telaah dokumentasi tersebut, dapat dijelaskan bahwa ada kecendrungan terjadinya penurunan hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia.
Berdasarkan hasil observasi dan diskusi peneliti pada tanggal 10 september 2008 dengan guru-guru kimia yang mengajar di SMA Negeri 1 Busungbiu, ditemukan bahwa beberapa hal yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia, antara lain (1) kemampuan awal siswa relatif rendah yang terlihat dari rendahnya rerata nilai hasil ujian akhir SMP kelompok MIPA, (2) siswa relatif sulit memahami konsep yang bersifat mikroskopis, karena kemampuan analisisnya rata-rata relatif rendah, (3) siswa tidak banyak mempersiapkan diri sebelum pembelajaran dimulai, walaupun materi yang akan dibahas sudah diinformasikan sebelumnya, (4) aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sangat rendah, dan hanya didominasi oleh siswa pintar saja,  dan (5) siswa belum mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari, (6) pola  pembelajaran yang diterapkan guru masih bersifat konvensional (metode ceramah, diskusi).  Oleh karena itu, masih diperlukan berbagai upaya nyata, seperti penerapan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia.
Belajar kimia secara bermakna memerlukan kajian konsep dari tiga aspek yakni aspek makrokospis (sifat yang dapat diamati), aspek mikrokospis (partikel-partikel), dan simbolik (Johnston, 1991; Gabel, 1999, dalam Sudria, 2007). Hambatan utama terhadap pemahaman konsep kimia bukan karena kesulitan memahami ketiga aspek di atas, tetapi karena guru mengajarkan konsep-konsep kimia hanya pada tingkat makrokospis dan simbol, dan gagal mengaitkan dengan pemahaman aspek mikrokospis dari konsep (Lee, 1999). Mata pelajaran kimia mengandung konsep-konsep yang mempunyai sifat abstraksi yang tinggi (Kean dan Middlecamp, 1984). Lemke (1990) menyatakan bahwa penyajian konsep abstrak langsung dalam bentuk informasi ilmiah sulit diterima oleh pebelajar, sehingga perlu suatu model analogi yang dapat mengkonkritisasi konsep-konsep abstrak.  Kirna (2002) melaporkan bahwa dengan penerapan metode analogi dapat meningkatkan kualitas pemahaman  siswa. Sedangkan untuk materi yang menuntut keterampilan berhitung dapat digunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Sudjana (1995) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dirancang untuk mendorong siswa menganalisis masalah, mengidentifikasi, dan menggunakan konsep-konsep kimia sebelum menggunakan persamaan matematika.
Rendahnya prestasi atau hasil belajar siswa di bidang sains termasuk kimia ditengarai berhubungan dengan proses pembelajaran yang belum memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan bernalar secara kritis (Degeng, 2000), yang mana  pola pengajaran yang cenderung didominasi teori-teori yang berbentuk verbal (Andreas, 1995). Sains belum diajarkan secara sains, tetapi masih diajarkan dengan pola belajar yang cenderung menghafal dan mekanistik (Cain dan Evans, 1990; Depdiknas, 2002). Pembelajaran sains masih bercirikan transfer sains sebagai produk (fakta, hukum, dan teori) yang harus dihafalkan sehingga aspek sains sebagai proses dan sikap benar-benar terabaikan (Istyadji, 2007: 2).
Lalu, berdasarkan hasil observasi dan diskusi pengusul saat temu alumni , dilakukan oleh jurusan pendidikan Kimia Universitas pendidikan Ganesha, guru-guru kimia yang mengajar di SMA Negeri maupun di SMA Swasta  ditemukan bahwa beberapa hal yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia, antara lain (1) kemampuan awal siswa relatif rendah yang terlihat dari rendahnya rerata nilai hasil ujian akhir SMP kelompok MIPA, (2) siswa relatif sulit memahami konsep yang bersifat mikroskopis, karena kemampuan analisisnya rata-rata relatif rendah, (3) siswa tidak banyak mempersiapkan diri sebelum pembelajaran dimulai, walaupun materi yang akan dibahas sudah diinformasikan sebelumnya, (4) aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sangat rendah, dan hanya didominasi oleh siswa pintar saja, dan (5) siswa belum mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari, (6) pola  pembelajaran yang diterapkan guru masih bersifat konvensional (metode ceramah, diskusi).  Oleh karena itu, masih diperlukan berbagai upaya nyata, seperti penerapan model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran kimia.
Belajar kimia secara bermakna memerlukan kajian konsep dari tiga aspek yakni aspek makrokospis (sifat yang dapat diamati), aspek mikrokospis (partikel-partikel), dan simbolik (Johnston, 1991; Gabel, 1999, dalam Sudria, 2007). Hambatan utama terhadap pemahaman konsep kimia bukan karena kesulitan memahami ketiga aspek di atas, tetapi karena guru mengajarkan konsep-konsep kimia hanya pada tingkat makrokospis dan simbol, dan gagal mengaitkan dengan pemahaman aspek mikrokospis dari konsep (Lee, 1999). Mata pelajaran kimia mengandung konsep-konsep yang mempunyai sifat abstraksi yang tinggi (Kean dan Middlecamp, 1984). Lemke (1990) menyatakan bahwa penyajian konsep abstrak langsung dalam bentuk informasi ilmiah sulit diterima oleh pebelajar, sehingga perlu suatu model analogi yang dapat mengkonkritisasi konsep-konsep abstrak. Kirna (2002) melaporkan bahwa dengan penerapan metode analogi dapat meningkatkan kualitas pemahaman  siswa. Sedangkan untuk materi yang menuntut keterampilan berhitung dapat digunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Sudjana (1995) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dirancang untuk mendorong siswa menganalisis masalah, mengidentifikasi, dan menggunakan konsep-konsep kimia sebelum menggunakan persamaan matematika.
Tujuan pembelajaran kimia bukan hanya menyediakan peluang kepada siswa untuk belajar tentang fakta-fakta dan teori, tetapi juga mengembangkan kebiasaan dan sikap ilmiah untuk menemukan dan memperbaharui kembali praktek dan kemampuan penalarannya dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya. Untuk itu, guru sebaiknya kreatif mengembangkan aktifitas yang dapat mendorong para siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman mereka. Oleh karena itu,  praktikum menjadi keharusan untuk menangkap fakta. Namun kendala yang dihadapi guru kimia dilapangan adalah sekolah jarang melakukan praktikum, lebih-lebih sekolah swasta, sebab praktikum membutuhkan biaya tinggi. Meskipun memiliki lab yang lengkap belum semuanya terstandarisasi dan belum semuanya memiliki SOP (standar operasional prosedur).
Akibat jarangnya praktikum, maka pengelolaan kelas dalam pengajaran praktikum kimia sangat sulit, sehingga pelajaran kimia adalah menakutkan bagi sebagian siswa. Guru kimia yang seharusnya kreatif ternyata terkendala dalam melakukan penulisan hasil temuannya, padahal setiap hari guru terus terkecimpung dengan masalah-masalah siswa dalam belajar kimia. Hal ini disebabkan guru tidak terbiasa dan belum terampil melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hal ini berakibat kesalahan demi kesalahan proses pengajaran akan terus berulang, dan guru sering lupa strategi apa yang digunakan untuk memecahkan masalah, karena tidak terdokumentasi dengan baik.masalahnya adalah guru jarang dan hampir belum ada menulis buku Kimia  yang standar untuk SMA di Bali. Oleh karena itu, perlu dipacu agar kemampuan mendokumentasi dan menulis guru-guru kimia meningkat.
Bertolak dari uraian itu maka titik orientasi P2M ini adalah pada peningkatan profesionalisme guru-guru kimia baik dari aspek menulis, merancang percobaan bagi guru-guru kimia swasta yang tidak memiliki lab, dan meningkatkan kemampuan meneliti, maupun menulis artikel ilmiah dan buku.

Dibimbing oleh :
Dr. I Nyoman Tika, M.Si

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon dukungan dan Komentarnya...