Sistem pengawetan bahan makanan alami telah dikenal sejak lama. Beberapa sistem pengawetan bahan makanan alami tanpa menggunakan pengawet buatan dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara tradisional seperti pengasapan, pengasaman, pengeringan, pendinginan dan pemanisan. Sistem pengawetan ini akan lebih aman digunakan karena tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Kendala yang ditemukan dalam sistem pengawetan tradisional ini adalah jangka waktu yang relatif lama dan proses yang panjang.
Untuk mempersingkat jangka waktu dan proses yang relatif panjang tersebut, saat ini telah ditemukan cara pengawetan bahan makanan secara alami yang dapat mengefisienkan waktu dan aman bagi kesehatan. Cara yang dapat ditempuh yaitu pengawetan bahan makanan dengan menggunakan liquid smoke atau asap cair. Pada umumnya, asap cair itu sendiri telah dikenal di beberapa negara seperti Jepang, Amerika dan Eropa untuk diaplikasikan pada penambahan cita rasa pada saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu, rempah-rempah dan lain-lain. Asap cair juga digunakan untuk pengawetan daging, termasuk daging unggas, kudapan daging, ikan salmon, dan kudapan lainnya (Trenggono dkk, 1997).
Liquid smoke atau lebih dikenal sebagai asap cair merupakan suatu cairan hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Pembakaran bahan-bahan ini dilakukan melalui proses pirolisis. Pirolisis merupakan proses pengarangan dengan cara pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung karbon pada suhu tinggi. Kebanyakan proses pirolisis menggunakan reaktor bertutup yang terbuat dari baja, sehingga bahan tidak terjadi kontak langsung dengan oksigen. Umumnya proses pirolisis berlangsung pada suhu diatas 300 oC dalam waktu 4-7 jam (Paris et al, 2005). Asap dari proses pirolisis inilah yang kemudian ditampung untuk selanjutnya menjadi asap cair.
Asap cair pada proses ini diperoleh dengan cara mengkondensasi asap yang dihasilkan melalui cerobong pirolisis. Proses kondensasi asap menjadi asap cair sangat bermanfaat bagi perlindungan pencemaran udara yang ditimbulkan oleh proses tersebut. Selain itu, asap cair yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku pengawet, antioksidan, desinfektan, ataupun sebagai biopeptisida (Nurhayati, 2000)
Bahan baku yang banyak digunakan untuk pembuatan asap cair adalah kayu, bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu, sekam padi, tempurung kelapa dan lain-lain. Saat ini, asap cair dari tempurung kelapa lebih banyak diminati oleh konsumen karena memberikan cita rasa yang khas pada awetan bahan makanan dari pada asap cair yang dihasilkan bahan baku lainnya. Asap cair dari tempurung kelapa mengandung berbagai senyawa yang terbentuk akibat terjadinya pirolisis tiga komponen utamanya yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap cair tempurung kelapa telah diidentifikasi. Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan makanan dengan cepat. Hal ini terjadi karena asap cair dari tempurung kelapa memiliki komponen aktif senyawa fenolat. Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan dengan aksi mencegah proses oksidasi senyawa protein dan lemak sehingga proses pemecahan senyawa tersebut tidak terjadi dan memperpanjang masa simpan produk yang diasapkan. Masa simpan dari produk asapan ditentukan dari jumlah komponen penyusun asap cair.
Komponen-komponen penyusun asap cair ditemukan dalam jumlah yang bervariasi, tergantung dari jenis bahan, umur tanaman, dan kondisi pertumbuhan tanaman seperti iklim dan tanah. Perbedaan komponen ini kemungkinan akan ditemukan pula pada asap cair yang dihasilkan oleh pembuat arang di Desa Yehembang. Para pembuat arang di Desa Yehembang telah melakukan pengembunan asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang batok kelapa maupun kayu dengan menggunakan alat sederhana (program IbW, I Nyoman Tika, 2010) yang telah menghasilkan asap cair. Asap cair yang dihasilkan berwarna coklat pekat. Asap cair ini termasuk ke dalam golongan grade 3, yang harus ditreatmen lebih jauh jika ingin digunakan untuk pengawet makanan.
Asap cair grade 3 belum layak digunakan untuk pengawet makanan atau penambah cita rasa (flavours), karena pada golongan ini, asap cair masih bercampur dengan tar yang merupakan komponen sisa pembakaran tidak sempurna. Selain tar, asap cair grade 3 mengandung senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) yang terbentuk selama proses pirolisis bahan pembuat asap cair. Salah satu senyawa HPA yang terbentuk adalah benzopyrene, yang merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk dan dapat menyebabkan kanker karena bersifat karsinogen (Girard, 1992).
Untuk mengurangi kandungan senyawa BP, maka asap cair grade 3 harus dimurnikan terlebih dahulu. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memurnikan, yaitu dengan cara redestilasi dan absorpsi dengan menggunakan adsorben. Redestilasi merupakan proses pemurnian asap cair berdasarkan perbedaan titik didih dari asap cair. Cara lainnya yaitu absorpsi dengan menggunakan adsorben zeolit dan arang aktif.
Dengan cara ini, makan kandungan BP yang masih terikat dalam ter yang ada pada asap cair grade 3 diharapkan akan berkurang dan berada di bawah ambang batas sehingga aman untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui apakah asap cair yang telah dihasilkan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, maka perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair. Komponen asap cair yang telah dimurnikan akan diidentifikasi dengan menggunakan GC-MS. Mengingat pentingnya mengurangi senyawa berbahaya yang terdapat di dalam asap cair, maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji pengaruh redestilasi dan penggunaan adsorben zeolit serta arang aktif dalam proses pemisahan dan pemurnian senyawa berbahaya yang terkandung di dalam asap cair sehingga aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
By Agus Wahyu Erawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon dukungan dan Komentarnya...