Rabu, 18 Januari 2012

MODEL PEMBELAJARAN SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT (STM)


Pendahuluan
Pendidikan dasar saat ini harus mampu membekali setiap pebelajar dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai dan sikap. Dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) namun juga harus mencerminkan pilar-pilar pendidikan. Pendidikan yang relevan harus bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni pebelajar mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni pebelajar menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni pebelajar belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni pebelajar belajar untuk menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia (Marhaeni, 2007). Dengan adanya kesinambungan keempat pilar pendidikan tersebut, niscaya akan dihasilkan siswa-siswa yang berkopetensi dalam menjalani kehidupan di jaman yang modern ini.
Untuk menghasilkan pebelajar yang kompetitif sesuai dengan keempat pilar diatas, maka pendidikan saat ini harus bersifat kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).
Salah satu pendekatan kontekstual yang dapat dikembangkan dalam pendidikan dasar adalah model Sains Teknologi Masyarakat (STM). Pendekatan STM adalah belajar dan mengajarkan sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Pendekatan STM dianggap cocok untuk mengintegrasikan domain konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, penerapan, dan keterkaitan antar bidang studi dalam pembelajaran dan pendekatan sains. Menurut pandangan National Science Teacher Assocciation (NSTA), STM harus sejalan dengan pengalaman hidup siswa. Oleh karena itu, pembelajaran sains yang menggunakan pendekatan STM melibatkan masalah/isu aktual yang dihadapi oleh siswa dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sehingga relevan dengan kehidupan siswa.
Pembelajaran dengan pendekatan STM memiliki cakupan pembelajaran yang lebih luas karena diperkaya dengan permasalahan atau isu sains atau teknologi. Konteks pembelajaran menjadi lebih luas. Pembelajaran seperti ini memberi kesempatan kepada siswa untuk menyadari hubungan sains yang dipelajarinya dengan apa yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran selalu berawal dari masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan nyata. Dengan demikian siswa tidak hanya memperlajari konsep fisika, biologi atau kimia saja tetapi juga belajar untuk menanggapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadirkan dalam pembelajaran. Harapannya siswa mendapat kebermaknaan dalam mempelajari sains sebagaimana diungkapkan oleh King:
“STS science traditional content is not watered down but is embedded ini a social technological context. The choice of the context is made on the basis of meaningfulness to the students and the source content generated by the context on a need to know basis required by a particular part of the curriculum”
Penggunaan pendekatan STM tidak hanya terbatas pada konsep esensial yang diajarkan di sekolah tetapi juga menekankan peranan sains dan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa terhadap dampak sains dan teknologi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga aspek dalam diri siswa yang dapat dikembangkan anatara lain domain konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, penerapan dan keterkaitan antarbidang studi dalam pembelajaran dan pendekatan sains. Salah satu contohnya, dapat mengembangkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah, terutama permasalahan atau isu-isu yang ada dimasyarakat. Misal isu kimia di masyarakat, yaitu mengenai zat aditif dimasyarakat.  Dengan mengaitkan materi dengan dunia nyata dalam kehidupan siswa (daily life) dengan jalan bercerita atau mengajukan tanya jawab lisan tentang kondisi aktual siswa. Kemudian siswa diarahkan melalui mode ling agar siswa termotivasi, questioning yang menuntut siswa berfikir, construct ivism agar siswa membangun pengertian, inquiry mendesak siswa menemukan konsep sendiri dengan bimbingan guru, learning community menciptakan siswa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi dan mengkomunikasikan pengetahuan, reflection membuat siswa mampu mengulang kembali dan menyimpulkan pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan guru menjadi objektif.

Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Dalam upaya meningkatkan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains, serta meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa, maka penyajian materi ajar sains di sekolah hendaknya selalu dikaitkan dan disepadankan dengan isu-isu sosial dan teknologi masyarakat. Salah satu pendekatan dalam pendidikan sains yang mungkin dapat memberikan solusi terhadap permasalahan di atas adalah pendekatan “sains-teknologi-masyarakat” (STM). Pendekatan STM dalam pembelajaran sains merupakan “perekat” yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat. Isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat merupakan karakteristik kunci dari pendekatan STM (Yager, 1991). Melalui pendekatan STM, para siswa belajar sains dalam konteks pengalaman nyata, yang mencakup penerapan sains dan teknologi (Yager, 1996). Pengetahuan yang dibangun melalui pendekatan STM akan ada pada diri siswa sebagai copy situasi kehidupan nyata.
Ciri-ciri pendekatan STM antara lain: 1) difokuskan pada isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat yang terkait dengan konsep dan prinsip sains yang akan diajarkan, 2) diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam membuat keputusan berdasarkan informasi ilmiah, 3) tanggap terhadap karir pada masa depan, 4) evaluasi belajar ditekankan pada kemampuan siswa dalam memperoleh dan menggunakan informasi ilmiah untuk memecahkan masalah (Eddy M. Hidayat,1992).

Hubungan Antara Sains-Teknologi-Masyarakat
Sains memberi kontribusi terhadap teknologi, yang tercermin pada penerapan produk Sains dalam teknologi. Sains memberi cara atau alat untuk mengestimasi perilaku benda-benda (material). Para insinyur (engineer) menggunakan pengetahuan tentang Sains untuk memecehkan masalah-masalah praktis. Sebaliknya, teknologi memberikan mata dan telinga bagi Sains. Misalnya, teknologi komputer berperan penting bagi perkembangan subatansial dalam mempelajari sistem cuaca, struktural kristal, struktur gen, dan sebagainya. Teknologi tidak hanya memberi alat bagi Sains, tetapi juga memberi motivasi dan arah bagi teori-teori penelitian. Misalnya, teori konservasi energi sebagian besar dikembangkan dari problem teknologi dalam meningkatkan efisiensi mesin uap. Hubungan Sains) dan teknologi dapat digambarkan sebagi berikut.

Hubungan antara teknologi dan masyarakat adalah sebagai berikut. Daya cipta individu merupakan sesuatu yang esensial dalam inovasi teknologi. Kekuatan sosial dan ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi jenis teknologi yang dipilih. Teknologi juga dipengaruhi oleh sejarah dan budaya masyarakat. Di sisi lain, secara historis, beberapa teori sosial berkeyakinan bahwa perkembangan teknologi akan menyebabkan perubahan sosial. Teknologi menimbulkan perubahan pola hidup, politik, religius, dan kesejahteraan umat manusia. Jadi, terdapat hubungan timbal balik antara teknologi dan masyarakat.
                Hubungan antara sains dan masyarakat adalah sebagai berikut. Produk-produk sains memberi kontribusi bagi kesejahteraan umat manusia. Sains sebagai proses, memberikan manusia kapasitas berpikir untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, kebutuhan manusia baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat, memberi dorongan dan picu yang kuat bagi perkembangan sains. 
Model Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Model pembelajaran STM merupakan salah satu model dalam pembelajaran Sains di sekolah. Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan STM adalah meningkatkan minat siswa terhadap Sains serta membentuk pribadi siswa yang literasi sains dan teknologi. Melalui model pembelajaran STM, para siswa sebagai warga masyarakat diharapkan lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosialnya. Model pembelajaran STM merupakan “perekat” yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat (Rustum Roy, 1983). Pengajaran Sains akan lebih bermakna jika konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori Sains dikemas dalam kerangka yang bertalian dengan teknologi dan masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan USA oleh Yager (1984), Yager & Yager (1985) menunjukkan bahwa jumlah siswa yang merasa bahwa sains tidak menyenangkan dan hanya merupakan hafalan fakta, meningkat pada kelas-kelas yang makin tinggi. Kesan siswa bahwa guru Sains berusaha membuat sains menarik, menimbulkan rasa ingin tahu, serta mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, menurun pada kelas-kelas yang makin tinggi. Di samping itu, terungkap pula bahwa 1) guru Sains terikat pada buku ajar yang diikuti baik isi, urutan maupun contoh-contohnya secara kaku, 2) kebutuhan dan minat siswa diabaikan, dan 3) disiplin dalam sains dipisahkan secara sangat tajam, dan tidak ditunjukkan aplikasinya dan kaitannya dengan disiplin lainnya.
National Science Teacher Assosiation (NSTA) di USA mendefinisikan STM sebagai “ the teaching and learning of science in the contaxt of human experience (Yager,1992). NSTA mengajukan sebelas ciri dalam mendeskripsikan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains, yaitu:
1)      Siswa mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan teknologi di daerahnya serta dampaknya.
2)      Menggunakan sumber lokal (manusia dan material) untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
3)      Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.
4)      Perluasan untuk terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah.
5)      Memusatkan pengaruh sains dan teknologi kepada siswa.
6)      Pandangan bahwa materi subyek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai siswa.
7)      Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan masalah.
8)      Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan teknologi.
9)      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat, jika telah dapat mengatasi isu yang telah diidentifikasinya.
10)  Identifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan.
11)  Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu.
Keuntungan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains adalah berlakunya model belajar konstruktivis. Pendekatan STM sejajar dengan pelaksanaan pandangan konstruktivisme dalam belajar dan mengajar (Yager, 1992). Pandangan konstriktivisme dalam belajar dan mengajar didasarkan atas asumsi bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar” (Bodner, 1986). Model konstruktivis tentang belajar dan mengajar, memberi tekanan pada pentingnya peran prior knowledge siswa dalam belajar, serta memperhatikan bagaimana pengetahuan itu dibangun di dalam struktur kognitif siswa. Jadi, model konstruktivis menempatkan siswa pada posisi sentral dalam proses pembelajaran. Pendekatan STM di samping menggunakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku pada model konstruktivis dalam pembelajaran, juga memberi kesempatan kepada siswa sebagai decision maker dalam memecahkan masalah.
Berikut ini dikemukakan perbandingan antara karakteristik pembelajaran Sains yang tradisional yang pada umumnya diikuti oleh para guru Sains dan karakteristik pembelajaran Sainsdengan pendekatan STM.
Pembelajaran Sains tradisional
(1)   Konsep-konsep diperoleh dari buku teks.
(2)   Menggunakan laboratorium dan aktivitas yang disarankan dalam buku petunjuk.
(3)   Keterlibatan siswa kurang aktif, karena informasi biasanya telah disediakan guru atau ada dalam LKS.
(4)   Pernyataan pentingnya informasi berasal dari guru.
(5)   Siswa berkonsentrasi pada masalah yang disiapkan oleh guru.
(6)   IPA dipelajari di sekitar dinding kelas, sebagai bagian dari kurikulum.



Pembelajaran Sains dengan pendekatan STM
(1)   Masalah diidentifikasi oleh siswa.
(2)   Keterlibatan siswa lebih aktif, karena mereka harus mencari sendiri informasi yang digunakan untuk memecahkan masalah.
(3)   Pembelajaran Sains dapat melampaui apa yang tertera dalam kurikulum.
(4)   Proses belajar sangat berpusat pada siswa.
(5)   Tidak hanya ditekankan pada keterampilan proses, tetapi juga metode ilmiah yang digunakan ilmuwan.
(6)   Konsep-konsep yang dipelajari tidak hanya bersumber dari buku teks, tetapi juga dari masyarakat.
(7)   Para siswa memperoleh kesempatan untuk berfungsi sebagai “decision maker” dalam memecahkan masalah.
Ditinjau dari penggunaan buku teks, antara kelas yang diajar dengan pendekatan tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM, terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut                                             
                                                   
Tradisional
STM
1.       Buku teks dapat digunakan terus menerus.
2.       Guru menyediakan informasi untuk dicatat dan diulangi.
3.       Kegiatan belajar disiapakan terma-suk tujuan akhir.

4.       Tidak ada perhatian terhadap masalah dan isu yang sedang “ngetrend”.
5.       Siswa mengerjakan apa yang ada dalam buku dan guru suruh untuk dikerjakan.
6.       Tidak ada penggunaan surat kabar dan jurnal.

7.       Ide dan informasi dipresentasi untuk dikuasai.
8.       “Sains” ditempatkan pada wadah yang dinamai kelas sains atau kelas laboratorium.
1.      Buku teks hanya digunakan jika diper-lukan sebagai sumber informasi.
2.      Guru membantu siswa dalam menemukan jawaban dari pertanyaannya.
3.      Siswa merencanakan aktivitas sebagai cara untuk menguji idenya dan pen-jelasannya.
4.      Masalah dan isu yang ada sering dipersiapkan sebagai konteks belajar.

5.      Siswa mengusulkan kegiatan, sumber informasi, dan pertanyaan baru.

6.      Sering menggunakan laporan berita dan situasi saat itu.

7.      Ide dan informasi diperlukan untuk merespon isu dan pertanyaan.
8.      Sains berupa fakta di sekolah sebagai kesatuan yang utuh di masyarakat dan dalam kehidupan siswa.
   (Yager, 1996)

            Lebih lanjut, dilihat dari penguasaan konsep dan keterampilan proses, antara kelas yang diajar dengan pendekatan tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM, terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.

Tradisional
STM
1.            Konsep hanya disiapkan untuk penguasaan tes yang dibuat guru.
2.            Konsep dilihat sebagai hasil akhir yang dicapai siswa.
3.            Penguasaan konsep bersifat semen-tara.
4.            Siswa melihat proses sains sebagai keterampilan yang dilakukan oleh ilmuwan.
5.            Siswa melihat proses sains sebagai sesuatu yang dipraktekkan yang merupakan tuntutan pelajaran.
6.            Siswa melihat proses sains yang abstrak, sempurna, tidak dapat dicapai, dan tidak berhubungan dengan hidupnya.
1.         Siswa melihat konsep sebagai kebutuhan pribadi.
2.         Konsep dilihat dari keperluannya untuk pemecahan masalah.
3.         Siswa yang belajar dengan penga-laman memperoleh pengetahuan dan dapat menghubungkan penge-tahuannya dengan situasi baru.
4.         Siswa melihat proses sains sebagai keterampilan yang mereka dapat gunakan.
5.         Siswa melihat proses sains sebagai keterampilan yang diperlukan untuk memperbaiki dan membangun diri-nya secara lebih sempurna.
6.         Siswa melihat proses sains sebagai bagian penting dari apa yang me-reka kerjakan di dalam belajar sains.
   (Yager,1996).                                               

            Ditinjau dari sisi penerapan konsep sains yang diperoleh siswa, perbedaanya antara siswa yang diajar dengan pendekatan tradisional dan siswa yang diajar dengan pendekatan STM adalah sebagai berikut.
Tradisional
STM
1.      Siswa tidak melihat nilai dan atau kegunaan dari pelajaran sains untuk kehidupannya.

2.      Siswa tidak melihat nilai dari sains yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
3.      Siswa dapat menceritakan informasi atau konsep yang dipelajari.
4.      Siswa tidak dapat menghubungkan sains yang dipelajari dengan teknologi yang ada pada saat itu.
1.      Siswa dapat menghubungkan sains yang dipelajari dengan kehidupan-nya.

2.      Siswa menjadi terlibat dalam pemecahan isu-isu sosial; mereka melihat manfaat dari belajar sains untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
3.      Siswa menginginkan informasi yang berhubungan dengan masalah.
4.      Siswa tertarik dengan perkembangan teknologi baru dan menggunakannya untuk melihat kepentingannya serta kecocokannya dengan konsep sains.
   (Yager,1996)

Berdasarkan perbandingan di atas, terlihat adnya keunggulan pembelajaran IPA dengan pendekatan STM terhadap pembelajaran tradisional dalam meningkatkan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip Sains, khususnya dalam menyiapkan individu siswa yang literasi sains dan teknologi.
Model pembelajaran berpendekatan STM dengan sintak mulai dari fase invitasi, ekslorasi, eksplanasi dan solusi, tindak lanjut, dapat membangkitkan berpikir siswa,  seperti 13 ciri berpikir kritis yang dikemukakan oleh Raymond. S. Neckerson. Berpikir kritis siswa pada fase invitasi pada implementasi pembelajaran berpendekatan STM adalah, guru dapat menggali isu-isu sains teknologi di masyarakat, mengorganisasi ide-ide dan mengartikulasinya secara ringkas. Pada fase eksplorasi siswa menggunakan bukti atau fakta secara cakap, mampu belajar secara independen, membedakan antara kesimpulan yang secara logika, meragukan penilaian yang tidak didukung oleh bukti yang yang cukup guna pengambilan keputusan, memahami perbedaan antara penalaran dan rasional, sensitif terhadap perbedaan antara validitas dan intensitas dari suatu keyakinan. Pada fase ekplanasi dan solusi siswa dapat menyususn representasi masalah secara informasi yang serupa dengan cara teknik formal. Pada fase tindak lanjut siswa berusaha mengantisipasi kemungkinan-kemingkinan konskuensi dari tindakan  alternatif.
Menurut Robert E. Yager (1992) sintak model pembelajaran STM adalah sebagai berikut:
Sintak Model Pembelajaran STM
FASE-FASE
AKTIVITAS MENGAJAR
Fase 1 (Invitasi)
·         Menggali isu atau masalah lebih dahulu dari peserta didik


·         Menghubungkan pembelajaran baru dengan pembelajaran sebelumnya

·         Mengidentipikasi isu atau masalah dalam masyarakat yang berkaitan dengan topik yang dibahas
Fase 2 (Eksplorasi)
·         Merancang dan melakukan kegiatan eksperimen atau percobaan untuk mengumpulkan data
·         Berlatih keterampilan proses sains
·         Mengasah kerja ilmiah dan sikap ilmiah
·         Diskusi kelompok untuk menghasilkan kesimpulan


Fase 3
(Pengajuan Eksplanasi dan solusi)
·         Siswa membangun sendiri konsep
·         Siswa berdiskusi

·         Solusi masalah yang dihadapi masyarakat terkait materi yang diperoleh siswa semata-mata berdasarkan informasi dari kegiatan eksplorasi




Fase 4
Tindak Lanjut
·         Menjelaskan fenomena alam berdasarkan konsep yang disusun
·         Menjelaskan berbagai aplikasi untuk memberikan makna
·         Refleksi pemahaman konsep

·    Guru menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang efektif agar siswa termotivasi

·    Guru memberikan resfek positif  bagi siswa yang berusaha untuk menjawab

·    Guru menjelaskan materi pokok dan manfaat praktis yang akan didapat


·    Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok

·    Guru memberikan siswa untuk melakukan  eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, kemudian melaporkan hasil pengamatannya untuk disimpulkan



·    Guru langsung mengajak siswa  untuk mendiskusikan hasil pengamatan kemudian diaplikasikan pada situasi lain
·    Guru memperhatikan hasil kegiatan seluruh kelompok
·    Guru mencermati kembali kegiatan siswa apabila ada kelompok yang menghasilkan kesimpulan yang bias
·    Guru memberikan rangkuman atau ulasan tentang konsep-konsep yang benar diantara peserta didik


·    Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konseptual.
(Dimodifikasi dari Yager, 1992)

Daftar Pustaka
Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences: Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy.
Eddy Mohamad Hidayat (1991). Science-Technology-Society: Pendidikan Sains untuk Tahun 2000. Edisi Khusus Jurnal Pendidikan IPA. Himpunan Sarjana  Pendidikan IPA Indonesia
Hungerford, Harold R., et al. (1990). Science-Technology-Society: Investigating and Evaluation STS Issues and Solutions. Illinois: Stipes Publishing Company
Marhaeni, A.A. Istri N. 2007. Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Singaraja: Undiksha.
Yager, Robert E. & S.O. Yager (1985). Changes in Perception of 3rd.7th, and 11th  Grade Students. Journal of Research in Science Teaching, Vol. 22. No.4.

Yager, Robert. E (1992). The STS Aproach Parallels Constructivist Practices. Science Education International, Vol. 3, No. 2.

Yager, Robert E. (1996). Science/Technology/Society, As Reform in Science Education. New York: State University of New York Press.


Rabu, 04 Januari 2012

TUKAD BATUAGUNG dan TUKAD BILUK POH



Teringat masa kecilku, waktu itu aku masih usia sekolah dasar. Banyak cerita dan kenangan yang masih terngiang dan teringat sampai saat ini. Kadangkala ingin rasanya mengulang kenangan tersebut lagi, dan lagi. Namun apa yang menjadi keinginan terkadang tidak bisa terwujud, karena kenangan itu banyak yang sudah berubah, total. Jauh berbeda dengan waktu yang lampau, saat uang lalu.
Salah satunya adalah tukad Batuagung. Tukad (sungai) ini berada di kawasan pinggir kota Negara. Tukad ini dulunya terkenal karena banyaknya batu besar sepanjang aliran sungainya. Hingga disebut dengan batu agung (batu besar). Banyaknya batu besar tersebut berdampak pada indahnya aliran sungai, air yang meliuk diantara batuan besar, merupakan sebuah kenangan tersendiri bagi saya. Batu-batu besar tersebut juga menyebabkan adanya saringan alami bagi air sungai itu sendiri. Saya masih ingat dulu, aliran sungai ini selalu besar (suluk) dan bening. Terkecuali pada saat hujan deras, karena airnya meluap dan berwarna coklat.
Dulu, minimal sekali dalam seminggu kami sekeluarga pergi ke tukad ini, bapak dan ibu naik motor, sedangkan saya dengan semangatnya mengayuh sepeda federal (goes). Biasanya sore hari, sebelum sampai di lokasi, ibu pasti membeli nasi campur babi, yang dimakan bersama sambil mandi. Sungguh nikmat...
Namun sekarang, terakhir saya ke kota negara, entah dari mana datangnya keinginan untuk mandi di sana lagi. Untuk itu, saya pacu motor ke lokasi tempat saya bisa bernostalgila lagi. Sayangnya, harapan untuk melihat batu-batu dan aliran air yang bening itu tampaknya tak tersampaikan. Tempat yang dulu memiliki kenangan itu kini telah berubah drastis. Sepanjang pinggiran sungai kini telah berganti dengan tembok dari susunan batu dalam jaring kawat. Sungguh ironis, tak ada lagi pemandangan indah itu.

Walaupun demikian, tidak menyurutkan keinginan saya untuk mandi dan merasakan dinginnya aliran air yang berasal dari pegunungan daerah gelar. Batu-batu besar itu kini telah berganti dengan batu-batu kecil yang banyak didominasi dengan pasir. Hal ini menyebabkan tidak nyamannya ketika duduk di aliran sungai. 

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tukad batuagung ini sering meluap ketika hujan. Banyak korban jiwa, baik manusia maupun ternak yang terseret derasnya arus sungai ini. Tak terhitung pula banyaknya rumah yang hancur. Mungkin itulah penyebab dibuatnya tanggul. Dan mau tidak mau, batu-batu penghias aliran sungai menjadi korbannya. Mereka dengan kejamnya akan dipecah, dibelah dan dimasukkan ke dalam jaring kawat baja, dan menjadi penghias pinggiran sungai. Bukan ditengah sungai lagi. Sungguh ironis.
Hal yang serupa juga terjadi pada tukad Biluk Poh. Salah satu sungai yang berada di dekat desa Tegalcangkring. Tukad ini merupakan aliran dari air terjun mesean, yang mungkin merupakan air terjun tertinggi di pulau bali. Tidak beda jauh dengan tukad Batu Agung, bebatuan di tukad Biluk Poh juga menghilang. Yang ada kini hanya batu-batu kecil, akibat banyaknya batu yang lebih besar diambil untuk pembangunan. Ya, bedanya dengan tukad Batu Agung, bebatuan di Biluk Poh banyak digunakan sebagai bahan bangunan. Mungkin karena telah mendapat ijin untuk galian C, kala itu. Sehingga banyak penambang batu dan pasir yang mencoba mencari peruntungan di sepanjang aliran tukad ini. Pengerukan tersebut menyebabkan adanay pendangkalan sungai, dan alhasil, ketika hujan lebat tiba, terjadi penggerusan tebing sungai, sehingga sungai semakin melebar. Tidak jarang sawah yang berada di sepanjang aliran sungai ikut terendam, karena tanggul sungai tidak cukup tinggi menahan air hujan akibat adanya pendangkalan pada badan sungai.

Andai saja, dulu kita tidak begitu serakah mencari nafkah, tentunya alam ini masih tetap terjaga keasriannya. Dan saya percaya, ketika kita menjaga alam dengan baik, maka alam akan berterima kasih dengan menjaga kita 1000 kali lipat lebih baik. Bukan hanya seorang, namun seluruh orang yang melindunginya. Om Awignam Astu....

(LAYANG-LAYANG), ALTERNATIF ENERGI TERBARUKAN


Hari itu, senin tanggal 2 Januari 2012 saya pergi ke kota kelahiran saya di Negara. Tujuan pulang kali ini sebenarnya untuk menservis sepeda motor untuk yang pertama kalinya. Maklum, motor baru. Hasil keringat setelah bekerja selama tiga bulan di Klungkung. Walaupun cuma setengahnya, ga apalah... bapak dan ibu telah sanggup untuk membayar sisa kekurangan pembeliannya.
Menjelang sore hari, setelah selesai motorku diservis, langsung tancap gas menuju tempat praktek dokter Madi. Beliau adalah seorang praktisi dalam hal potong-memotong rambut. Ini merupakan tempat favoritku untuk melakukan pangkas di kota ini. Cara pangkasnya cepat, dan sesuai dengan selera yang selama ini menjadi ikon sejak kecil. Cepak rada mowhak. Itu hasil akhir dari potongan rambutku kali ini. Cukup puas.
Sembari pemangkasan, saya teringat akan cerita om Madi yang kini memiliki hobbi untuk mengkoleksi layangan. Tidak seperti layang-layang pada biasanya, milik om Madi memiliki ciri khas berupa adanya lampu pada layang-layang tersebut. Tidak diterbangkan pada siang hari, hanya malam hari. Tentunya pada cuaca cerah dan berangin. Dengan adanya lampu-lampu tersebut, akan menyebabkan layang-layang terlihat menyala di atas langit. Sungguh indah, kata om Madi.
Sebenarnya, bukan keindahan lampu dari layang-layang tersebut yang menarik perhatian saya. Namun, pada sistem caranya untuk menghidupkan lampu tersebut. Dari hasil wawancara, diperoleh informasi bahwa ada dua sistem yang dipakai untuk menghidupkan lampu pada layang-layang tersebut. Yang pertama adalah dengan menggunakan baterai, sedangkan yang kedua adalah dengan menggunakan kumparan (dynamo). Nah, ini dia yang saya sukai. Terlintas dalam pikiran saya, bahwa ini akan menjadi sumber energi alternatif bagi wilayah yang kekurangan energi. Dengan menggunakan layang-layang yang dikombinasikan dengan dinamo tersebut, maka hobby pelayang (orang yang suka main layangan) selain dapat menghilangkan stres, juga dapat membantu ketersediaan energi terbarukan yang tentunya sangat bermanfaaat bagi kehidupan sosial.

Setelah diamati secara teliti, ternyata lampu yang digunakan adalah lampu led atau lampu kerlap-kerlip yang biasanya digunakan untuk hiasan. Lampu-lampu tersebut disusun rapi dan diikatkan pada pinggiran layang-layang jenis goangan modifikasi. Sedangkan dynamo diikatkan pada tulang tengah layangan dengan bantuan beberapa tali penarik sebagai penguat agar putaran dynamo tersebut tidak mengenai badan layangan.

Jika dilihat dari kekuatan dynamo yang digunakan, yaitu sebesar 12Volt. Daya ini cukup untuk memberikan kehidupan bagi sekitar 30 lampu led berwarna-warni. Terkait dengan energi terbarukan, penggunaan dynamo yang dikombinasikan dengan layang-layang menurut saya adalah sesuatu yang perlu diteliti dan dikembangkan lebih jauh untuk dapat memberikan andil serta masukan bagi ketersediaan energi di muka bumi ini.

By. Dewa Putu Agus Wahyu Erawan*
*mahasiswa pasca sarjana, UNDIKSHA.

Rabu, 16 November 2011

DEFINISI PSIKOLOGI


Hampir semua aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh psikologi. Psikologi mengambil peran yang penting dewasa ini, terutama pada kehidupan manusia yang semakin kompleks (Atkinson, 1994). Psikologi sangat berpengaruh dalam kehidupan kita terutama dalam bidang hukum atau peraturan perundang-undangan. Hampir semua peraturan maupun kebijakan yang dibuat memiliki dasar psikologi. Hal ini disebabkan karena psikologi mencakup berbagai aspek kehidupan (Atkinson, 1994).
Ditinjau dari segi ilmu bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang artinya jiwa dan kata logos yang artinya ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu, psikologi sering diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa atau disingkat dengan ilmu jiwa (Walgito, 2003).
Psikologi telah didefinisikan dalam berbagai cara. Menurut Atkinson (1994), para ahli psikologi terdahulu, mendifinisikan bidang ilmu ini sebagai “studi kegiatan mental”. Dengan berkembangnya aliran behaviorisme yang menekankan studinya hanya pada fenomena yang dapat diukur secara objektif, psikologi akhirnya didefinisikan sebagai “studi mengenai perilaku”. Definisi ini biasanya mencakup penyelidikan mengenai perilaku binatang dan juga manusia dengan asumsi bahwa: (1) informasi yang didapat dari percobaan pada binatang dapat diterapkan pada organisme manusia dan (2) perilaku binatang merupakan masalah tersendiri yang menarik. Mulai tahun 1930-an sampai 1960-an, sebagian besar buku teks psikologi mempergunakan definisi ini. Hal ini berulang kembali dengan berkembangnya psikologi kognitif dan fenomenologi; sebagian besar definisi psikologi sekarang mencakup acuan mengenai proses perilaku dan mental (Atkinson, 1994).
Definisi psikologi telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Adapun pendapat para ahli tentang definisi psikologi antara lain sebagai berikut:
  • ·         John B. Watson (1919), menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu bagi aliran Behaviorisme, yang menekankan perilaku manusia.
  • ·         Branca (1964) menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu tentang perilaku terhadap ketertarikan terhadap segala sesuatu yang ingin diamati
  • ·         Kenneth Clark dan Gorge Milter (1970) menyatakan bahwa psikologi merupakan studi ilmiah mengenai perilaku yang mencakup berbagai proses perilaku seperti gerakan, cara berbicara dan perubahan kejiwaan
  • ·         William James (1980) menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya
  • ·         Richard Mayer (1981), menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia
  • ·         Wilhelm Wundt (1992), menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu yang bertugas menyelidiki apa yang kita sebut pengalaman bagian dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap objek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam
  • ·         Walgito (2003), menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa, dimana yang diobservasi adalah perilaku atau aktivitas-aktivitas yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan jiwa itu.
Sementara itu, kita sendiri mendefinisikan psikologi sebagai suatu “studi ilmiah mengenai proses perilaku dan proses mental”. Hal ini disebabkan karena jiwa tidak bisa dipelajari secara ilmiah. Sesuatu dapat dipelajari secara ilmiah jika keberadaannya dapat diobservasi. Yang dipelajari psikologi bukan jiwa manusia secara langsung tetapi manifestasi dari keberadaan jiwa berupa perilaku dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perilaku. Definisi ini mencerminkan perhatian psikologi terhadap studi obyektif mengenai perilaku yang dapat diamati. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemahaman proses mental yang tidak dapat diamati secara langsung tetapi kesimpulannya harus ditarik dari data behaviorisme dan neurobiologi.  Tetapi kita tidak perlu terpaku pada satu definisi saja. Dari sudut pandang yang praktis kita memperoleh pengertian mengenai psikologi dengan cara mengamati apa yang akan dikerjakan oleh para ahli psikologi.
Psikologi tergolong ilmu yang masih muda. Hal ini menyebabkan banyak teori dan konsep psikologi yang dicetuskan oleh para ahli. Hal ini tidak terlepas dari semakin berkembangnya jaman, sehingga teori dan konsep tersebut mengalami perubahan dan evolusi. Pada dasarnya, para ahli psikologi menaruh perhatian terhadap penemuan sebab-sebab orang berbuat sesuatu.
Psikologi sebagai suatu ilmu memiliki tugas-tugas atau fungsi-fungsi tertentu seperti ilmu-ilmu pada umumnya. Adapun tugas psikologi menurut Walgito (2003) ialah:
a.       Mengadakan deskripsi, yaitu tugas untuk menggambarkan secara jelas hal-hal yang dipersoalkan atau dibicarakan.
b.      Menerangkan, yaitu tugas untuk menerangkan keadaan atau kondisi-kondisi yang mendasari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.
c.       Menyusun teori, yaitu tugas mencari dan merumuskan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan mengenai hubungan antara peristiwa satu dengan peristiwa lain atau kondisi satu dengan kondisi lainnya.
d.      Prediksi, yaitu tugas untuk membuat ramalan (prediksi) atau estimasi mengenai hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi atau gejala-gejala yang akan muncul.
e.       Pengendalian, yaitu tugas untuk mengendalikan atau mengatur peristiwa atau gejala.


Daftar Pustaka
Atkinson, R.L, Atkinson R.C, dan Hilgard E.R. 1994. Pengantar Psikologi Edisi kedelapan Jilid I, alih bahasa Taufiq Nurdjannah dan Barhana Rukmini. Jakarta: Erlangga.
Suryabrata, Sumadi. 1966. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.