Tampilkan postingan dengan label biokimia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label biokimia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Mei 2011

INSEKTISIDA MIKROBA

Oleh : I Wayan Redhana
Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, IKIP Negeri Singaraja

1. Pendahuluan
            Insekta adalah sekelompok organisme yang keberadaannya sangat banyak di alam. Insekta biasanya memberikan pengaruh negatif terhadap manusia dalam hal : 1) insekta dapat menyebabkan kerusakan pada hasil-hasil panen dan insekta berfungsi sebagai vector penyakit bagi manusia dan hewan. Selama tahun 1940-an, sejumlah insektisida kimia telah dikembangkan untuk mengontrol perkembangan populasi insekta yang berbahaya tersebut. Salah satu dari insektisida ini adalah hidrokarbon terklorinasi yang sudah disintesis pada tahun 1870-an. Kemampuan DDT sebagai sebagai insektisida baru dikenal pada akhir tahun 1930-an. DTT terbukti sangat efektif membubuh dan mengendalikan beberapa spesies insekta. Hidrokarbon terklorinasi, seperti DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane), berfungsi menyerang sistem saraf dan jaringan otot dari insekta. Hidrokarbon terklorinasi yang lain, seperti dieldrin, aldrin, chlordane, lindane, dan toxophene sudah disintesis dan digunakan sebagai insektisida.
            Klas yang lain dari insektisida kimia disebut organofosfat, meliputi malathion, parathion, dan diazinon. Senyawa organofosfat ini pertama kali digunakan untuk perang. Selanjutnya, senyawa ini digunakan untuk mengendalikan populasi insekta dengan menghambat kerja enzim asetilkolinesterase. Enzim ini berfungsi untuk menghidrolisis transmiter saraf, asetilkolin. Insektisida ini merusak sistem neuron dalam otak insekta.
            Para ahli telah menyadari bahwa hidrokarbon terklorinasi mempunyai pengaruh samping yang sangat berbahaya bagi binatang, ekosistem, dan bahkan manusia. Hidrokarbon terklorinasi, misalnya DTT, telah ditemukan di lingkungan dan akumilasi tertinggi ditemukan dalam rantai makanan. Bioakumulasi dalam jaringan lemak akan memberikan pengaruh yang signifikan pada beberapa organisme. Sebagai contoh, di Amerika Utara, beberapa spesies burung, seperti burung elang, burung pipit (gereja), burung undan coklat, burung laut telah terkontaminasi oleh DDT.
            Selama tahun 1950-an, populasi hama insekta target menjadi bertambah resisten terhadap insektisida kimia, sehingga konsentrasi insektisida kimia lebih tinggi harus digunakan agar dapat mengendalikan spesies hama insekta tersebut. Insektisida kimia kurang spesifik sehingga insekta yang menguntungkan juga dibunuh bersama dengan hama insekta target. Kenyataannya, predator hama insekta target lebih mudah dibunuh oleh insektisida kimia daripada hama insekta targetnya sehingga insektisida kimia ini kurang spesifik terhadap sasaran.
            Dengan memperhatikan semua kekurangan dari penggunaan insektisida kimia, insektisida alternatif untuk mengendalikan insekta yang berbahaya telah dicari selama lebih dari 20 tahun. Insektisida yang dihasilkan secara alami oleh mikroorganisme atau tanaman merupakan pilihan yang tepat. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan pilihan yang aman, spesifik, efektif dan biodegradable. Kebaikan insektisida alami adalah sangat spesifik terhadap spesies insekta target. Namun, kelemahannya adalah daya bunuhnya rendah dan biaya produksinya tinggi. Sisi negatif ini dapat diatasi dengan teknologi DNA rekombinan. Sekarang, para peneliti telah memanipulai gen yang mengkode toksin insektisida mikroba untuk meningkatkan keefektifan dari insektisida tersebut.

2. Kerja dan Penggunaan Toksin Insektisida Bacillus thuringiensis
            Insektisida mikroba adalah senyawa toksik yang dihasilkan oleh mikroba yang berfungsi untuk membunuh spesies insekta atau mempunyai kemampuan menginfeksi insekta target spesifik. Insektisida mikroba yang paling efektif dan paling sering digunakan adalah toksin yang disintesis oleh Bacillus thuringiensis. Bakteri ini terdiri dari sejumlah strain yang berbeda (subspecies disingkat subsp.). Masing-masing subspecies menghasilkan toksin yang berbeda yang membunuh insekta yang berbeda pula. B. thuringiensis subsp. kurstaki, misalnya, menghasilkan toksin yang membunuh larva lepidopteran meliputi moth, butterfly, skipper, cabbage worm, dan spruce budworm. B. thuringiensis subsp. israelensis membunuh diptera seperti, mosquito dan black fly. B. thuringiensis subsp. tenebrionis (juga dikenal sebagai san diego) efektif membunuh beetle, seperti potato beetle dan boll weevil. Ada banyak strain B. thuringiensis yang lain dan masing-masing menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap insekta yang berbeda.
            Kerja toksin insektisida B. thuringiensis mengalami hambatan dalam aplikasinya. Untuk membunuh hama insekta, B. thuringiensis harus dicerna oleh insekta. Kontak bakteri atau toksin insektisida dengan permukaan insekta tidak mempunyai pengaruh terhadap insekta target. B. thuringiensis umumnya diterapkan dengan penyemprotan, sehingga bakteri ini selalu dicampurkan dengan zat penarik insekta untuk meningkatkan kemungkinan insekta mencerna toksin. Akan tetapi, insekta yang terdapat di dalam tanaman atau insekta yang menyerang akar tanaman tidak dapat dijangkau oleh toksin insektisida B. thuringiensis dengan penyemprotan, sehingga strategi yang lain harus dipilih untuk mengendalikan hama insekta tersebut. Salah satu kemungkinannya adalah membuat tanaman transgenik yang membawa dan mengekspresikan gen toksin B. thuringiensis. Faktor pembatas kedua dari kerja toksin insektisida B. thuringiensis adalah toksin ini hanya membunuh insekta pada tahap perkembangan spesifik. Dengan demikian, toksin harus diterapkan ketika populasi hama pada tahap tertentu dalam siklus hidupnya.
            B. thuringiensis subsp. kurstaki pertama kali ditemukan pada tahun 1902. Sampai dengan tahun 1951, bakteri ini belum diketahui mempunyai kemampuan membunuh insekta. Mulai tahun 1950-an, B. thuringiensis subsp. kurstaki sangat penting artinya dan telah digunakan untuk mengontrol spruce budworm di Canada. Pada tahun 1979, kira-kira 1% atau kira-kira 2 juta hektar hutan di Canada disemprot dengan B. thuringiensis subsp. kurstaki untuk melawan spruce budworm. Pada tahun 1986, penggunaan B. thuringiensis subsp. kurstaki meningkat drastis. Bakteri ini digunakan untuk menangani kira-kira 74% hutan di Canada yang diserang oleh spruce budworm. Di negara lain, B. thuringiensis subsp. kurstaki digunakan untuk membasmi caterpillars, gypsy moth, cabbage worm, cabbage looper, dan tobacco hornworm. Kendala utama aplikasi B. thuringiensis subsp. kurstaki adalah harganya 1,5 sampai 3 kali lebih mahal dari insektisida kimia.
            Aktivitas insektisida dari B. thuringiensis subsp. kurstaki dan strain yang lain terdapat dalam struktur yang sangat besar yang disebut dengan kristal paraspora, disintesis pada tahap sporulasi bakteri. Kristal paraspora terdiri dari 20-30% massa kering dari kultur sporulasi dan penyusun utama adalah protein (~95%) dan sisanya adalah sejumlah kecil karbohidrat (~5%). Kristal merupakan agregasi satu jenis protein yang dapat didisosiasikan oleh basa menjadi subunitnya, masing-masing dengan massa molekul kira-kira 250 kDa. Kira-kira 20 residu glukosa dan 10 residu manosa diasosiasikan pada masing-masing subunit. Subunit dapat didisosiasikan secara in vitro oleh b-merkaptoetanol (yang mereduksi ikatan disulfida) menjadi dua rantai polipeptida identik, masing-masing dengan massa molekul kira-kira 130 kDa (Gambar 1).


Gambar 1. Representasi skema dari kristal paraspora B. thuringiensis. Masing-masing subunit protein 250 kDa dari kristal paraspora mengandung dua polipeptida 130 kDa. Pengubahan protoksin 130 kDa menjadi toksin aktif 68 kDa memerlukan kombinasi basa (pH 7,5 – 8,0) dan kerja protease spesifik, keduanya ditemukan dalam usus insekta.



 
 Gambar 2. Insersi toksin B. thuringiensis ke dalam membran sel epitel usus insekta. Toksin membentuk saluran ion antara sitoplasma sel dan lingkungan luar.
Kristal paraspora bukan merupakan bentuk aktif dari insektisida mikroba, melainkan merupakan protoksin, yaitu precursor dari toksin aktif. Jika kristal paraspora dicerna oleh insekta target, protoksin diaktivasi di dalam usus insekta oleh basa dengan pH 7,5 – 8,0 dan protease pencernaan spesifik, dan mengubah protoksin menjadi toksin aktif dengan massa molekul kira-kira 68 kDa (Gambar 1). Dalam bentuk aktif, protein toksin terinsersi ke dalam membran dari sel epitel usus dan membentuk saluran ion sehingga terjadi kehilangan ATP seluler (Gambar 2). Kira-kira 15 menit setelah saluran ion terbentuk, metabolisme sel berhenti, insekta berhenti makan dan mengalami dehidrasi dan akhirnya mati. Karena pengubahan protoksin menjadi toksin aktif memerlukan basa dan protease spesifik, non target seperti manusia dan hewan pertanian, seperti burung, tidak dipengaruhi.
Untuk pengendalian hama insekta secara biologi, B. thuringiensis subsp. kurstaki diterapkan dengan penyemprotan kira-kira 1,3 sampai 2,6. 108 spora per kaki2 pada areal target. Waktu hidup kristal paraspora sangat pendek di lingkungan karena kristal paraspora sangat sensitive terhadap sinar matahari. Sinar matahari dapat mendegradasi lebih dari 60% residu triptofan dari kristal paraspora selama 24 jam. Kristal paraspora mungkin tahan di lingkungan selama satu hari atau bahkan selama sebulan tergantung pada adanya sinar matahari.
           
3. Isolasi Gen Toksin
            Untuk mengembangkan insektisida B. thuringiensis yang mempunyai kemampuan membunuh lebih besar dan lebih luas terhadap sejumlah spesies insekta, gen protoksin yang dihasilkan oleh B. thuringiensis perlu diisolasi dan dikarakterisasi. Sebelum mengisolasi dan mengkarakterisasi gen protoksin, perlu ditentukan apakah gen protoksin terletak dalam DNA plasmid atau DNA kromosom. Untuk menguji gen protoksin yang terdapat dalam DNA plasmid, sumber strain B. thuringiensis dapat dikonjugasikan dengan strain yang tidak mempunyai aktivitas insektisida. Jika strain yang tidak mempunyai aktivitas insektisida sekarang mendapat kemampuan mensintesis toksin insektisida, maka gen protoksin tersebut terdapat dalam DNA plasmid karena pemindahan DNA kromosom selama konjugasi jarang terjadi.
            Prosedur untuk mengisolasi DNA pengkode protoksin sama dengan prosedur umum dilakukan. Sel B. thuringiensis ditumbuhkan dalam kultur dan dilisis. DNA sel total diisolasi dan dipisahkan menjadi fraksi DNA plasmid dan DNA kromosom dengan sentrifugasi gradien CsCl. Jika gen protoksin merupakan bagian dari genom (kromosom), pustaka genom harus dibentuk dari DNA kromosom. Sebaliknya, jika gen protoksin dikode oleh DNA plasmid, DNA plasmid dapat difraksionasikan lebih lanjut menggunakan sentrifugasi gradien sukrosa, yang memisahkan plasmid berdasarkan ukurannya.
B. thuringiensis subsp. kurstaki mengandung gen protoksin insektisida yang terdapat pada salah satu dari tujuh plasmid yang berbeda, masing-masing dengan ukuran 2,0; 7,4; 7,8; 8,2; 14,4; 45; dan 71 kb. Untuk menentukan DNA plasmid B. thuringiensis subsp. kurstaki yang membawa gen protoksin, sentrifugasi gradien sukrosa diterapkan untuk memisahkan ke tujuh DNA plasmid menjadi menjadi tiga fraksi, yaitu plasmid dengan ukuran kecil (2,0 kb), sedang (7,4; 7,8; 8,2; dan 14,4 kb), dan besar (45 dan 71 kb). Fraksi yang mengandung plasmid ukuran kecil (2,0 kb) dibuang karena plasmid ini terlalu kecil untuk mengkode protein yang equivalen dengan protoksin 130 kDa. Protoksin insektisida paling sedikit dikode oleh DNA dengan ukuran 4,0 kb. Fraksi plasmid dengan ukuran sedang dan besar selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi Sau3AI dan kemudian diligasi ke dalam sisi BamHI dari plasmid pBR322.
4. Rekayasa Genetika Strain B. thuringiensis
        Pada kondisi normal, protein protoksin B. thuringiensis hanya disintesis selama fase pertumbuhan sporulasi. Ini sangat menguntungkan di mana gen toksin ditranskripsi dan ditranslasi selama pertumbuhan vegetatif. Produksi toksin insektisida selama pertumbuhan vegetatif akan memungkinkan toksin disintesis melalui proses fermentasi kontinyu, sehingga biaya produksi toksin dapat ditekan. (Fermentasi kontinyu diselenggarakan pada skala lebih kecil dan lebih murah dalam bioreactor daripada fermentasi bath konvensional.
Selama sporulasi B. thuringiensis, factor inisiasi spesifik (faktor sigma) berinteraksi dengan promoter dari gen yang aktif hanya dalam bagian siklus hidup bakteri. Factor ini mengaktivasi transkripsi pada fase sporulasi. Jika gen toksin B. thuringiensis dengan promoter spesifik diklon dan diekspresikan dalam sel Bacillus subtilis atau B. megaterium, transkripsi gen hanya terjadi selama fase sporulasi. Dengan demikian, untuk mengekspresikan toksin insektisida B. thuringiensis selama pertumbuhan vegetatif, perlu menempatkan gen penginduksi toksin di bawah pengendalian promoter yang aktif selama pertumbuhan vegetatif.
Jika fragmen DNA mengandung gen toksin yang tidak mengandung promoter aslinya diklon dalam plasmid di bawah pengendalian promoter konstitutif dari gen resisten tertasiklin yang diisolasi dari plasmid Bacillus cereus, kemudian dimasukkan ke dalam B. thuringiensis, protein aktif akan dihasilkan secara terus-menerus selama siklus hidup sel (Gambar 3). Di samping itu, jika konstruksi ini digunakan untuk mentransform mutan defektif sporulasi dari B. thuringiensis, sintesis toksin terjadi tanpa harus mengalami fase sporulasi. Pada kondisi ini, sintesis toksin lebih efisien daripada sel wild type; yaitu jumlah protein toksin yang diperoleh lebih besar dalam sel yang ditransformasi, dan waktu serta substrat yang diperlukan lebih sedikit. Gen toksin yang telah dimodifikasi ini dapat diintegrasikan ke dalam DNA kromosom dari B. thuringiensis yang defektif sporulasi. Manipulasi ini akan menjamin bahwa gen insektisida toksin tidak akan hilang selama ketidakstabilan plasmid pada proses fermentasi kontinyu.

Gambar 3. Prosedur untuk subkloning gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki sehingga gen ini diekspresikan secara kontinyu di bawah pengendalian promoter gen resisten tetrasiklin (pTet). Gen toksin B. thuringiensis yang diisolasi dihilangkan promoternya dengan menggunakan enzim restriksi 1 dan 2 (RE1 dan RE2). Gen toksin digabungkan oleh DNA T4 ligase ke dalam vektor plasmid sehingga terletak di bagian downstream dari pTet menggantikan posisi gen resisten tetrasiklin yang telah dihilangkan sebelumnya oleh RE1 dan RE2.
Hasil panen dapat diserang oleh lebih dari satu jenis spesies insekta. Oleh karena itu, perlu untuk membuat toksin insektisida yang efektif melawan insekta target pada spektrum yang luas. Toksin insektisida yang mempunyai spesifisitas yang luas dapat diperoleh melalui : 1) mentransfer gen toksin tertentu (misalnya toksin terhadap diptera) ke dalam strain B. thuringiensis yang normalnya mensintesis toksin spesifik terhadap spesies yang berbeda (misalnya toksin terhadap coleoptera), atau 2) menggabungkan dua gen toksik spesifik terhadap spesies yang berbeda sehingga dihasilkan toksin yang bekerja ganda  (toksin hybrid).
            Untuk menguji apakah spektrum hama insekta target dapat diperluas atau tidak, gen toksin insektisida dari B. thuringiensis subsp. aizawai dan tenebrionis diklon dalam vector shuttle. Konstrukdi genetik ini kemudian dimasukkan melalui elektroporasi ke dalam B. thuringiensis subsp. aizawai, kurstaki, israelensis, dan tenebrionis, dan semua strain yang ditransformasi dites toksisitasnya terhadap larva yang berbeda.
        Toksisitas gen toksin induk yang dihasilkan secara endogen dipertahankan dan gen toksin yang dimasukkan juga mengekspresikan toksin khusus dari sumbernya (Tabel 1). Di samping itu, jika gen toksin B. tenebrionis dimasukkan ke dalam strain B. israelensis, transforman resultan yang dihasulkan sangat toksik terhadap Pieris brassicae (lalat putih kul atau kubis).
Tabel 1. Toksisitas strain B. thuringiensis yang ditransformasi dan yang ditemukan secara alamiah terhadap insekta Pieris brassicae (lalat putih kul atau kubis), Aedes aegypti (nyamuk), dan Phaedon cochleariae (kumbang).a
Sumber toksin
Toksisitas terhadap Pieris
Toksisitas terhadap Aedes
Toksisitas terhadap Phaedon
DNA induk
DNA yang dimasukkan
aizawai
tidak ada
++
+
-
israelensis
tidak ada
-
++
-
israelensis
aizawai
++
++
-
israelensis
tenebrionis
+
++
++
kurstaki
tidak ada
++
+
-
kurstaki
tenebrionis
++
+
++
tenebrionis
tidak ada
-
-
++
tenebrionis
aizawai
++
+
+
aDalam eksperimen ini, toksisitas dilevel sebagai berikut : ++, 0 sampai 5% daun dikonsumsi (untuk Phaedon dan Pieris) atau 100% terjadi kematian dalam waktu 1 jam (Aedes); +, 5 sampai 50% daun dikonsumsi (untuk Phaedon dan Pieris) atau 50 sampai 100% terjadi kematian dalam waktu 24 jam (Aedes); -, > 50% daun dikonsumsi (Phaedon dan Pieris) atau tidak terjadi kematian dalam waktu 24 jam (Aedes). Tanaman untuk tes adalah daun kul (untuk Pieris) atau daun turnip (untuk Phaedon).
  Spesifisitas toksin insektisida B. thuringiensis dari sumber yang berbeda ditemukan menempati daerah pusat dari masing-masing molekul protein. Domain toksin ini disebut dengan daerah hipervariabel, karena daerah ini berbeda antara toksin yang satu dengan toksin yang lain. Sisanya dari molekul protein adalah daerah tetap. Dengan mengetahui domain toksin yang bertanggung jawab terhadap spesifisitas insekta, pembuatan molekul toksin hibrid spesifik terhadap insekta dapat dilakukan dengan cara yang lebih sistematis.
Protein insektisida B. thuringiensis subsp. israelensis sangat toksik jika dicerna oleh larva nyamuk. Akan tetapi, krista paraspora dari spesies ini tenggelam dengan cepat setelah disemprotkan di atas air sehingga efektivitasnya terhadap larva nyamuk dan daya bunuhnya berkurang. Untuk mengatasi masalah ini, gen toksin insektisida dapat dimasukkan ke dalam organisme yang merupakan sumber makanan bagi larva nyamuk. Calon organisme yang cocok untuk tujuan ini adalah Synechocystis dan Synechcoccus spp. serta sianobacteri fotosintesis yang merupakan sumber makanan utama bagi larva nyamuk. Organisme lain yang potensial dijadikan induk untuk ekspresi gen toksin isnektisida asing adalah Caulobacter crescentus, suatu bakteri air yang umumnya ditemukan tersebar secara luas dalam lingkungan air, di mana larva nyamuk makan. Gen toksin dari B. thuringiensis subsp. israelensis dimasukkan dan diekspresikan dalam organisme ini. Pada percobaan lain, toksin insektisida dihasilkan oleh sianobakteri yang ditransformasi sangat toksik terhadap larva nyamuk.
Akar beberapa tanaman dapat diserang oleh insekta. Untuk mengatasi maslah ini, gen toksin dari strain  B. thuringiensis dimasukkan ke dalam spesies bakteri yang berkoloni di dekat akar tanaman (rhizosphere). Bakteri yang telah direkayasa dapat dimasukkan ke dalam tanah, di mana bakteri ini dapat mensintesis dan membebaskan toksin insektisida ke dalam areal di sekitar akar tanaman. Dengan demikian, bakteri ini akan melindung akar tanaman dari serangan insekta. Di samping itu, selama bakteri yang telah direkayasa dapat hidup dalam tanah, maka penyemprotan dengan insektisida biologi atau kimia tidak diperlukan lagi. Pendekatan ini sudah diuji pada skala kecil. Gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki dimasukkan ke dalam DNA kromosom dari strain Pseudomonas fluorescens yang berkoloni pada akar jagung. Integrasi gen toksin dicapai sebagai berikut.
1)     Komponen transposon Tn5 yang sudah diklon dalam plasmid dimodifikasi secara genetik dengan mengubah batas kiri dan kannanya dan menghilangkan bagian transposasenya. Komponen Tn5 yang telah diubah tidak dapat didihilangkan dari plasmid, bahkan oleh transposase eksogen.
2)    Gen toksin insektisida B. thuringiensis subsp. kurstaki yang telah diisolasi digabungkan ke dalam bagian tengah dari komponen Tn5 yang telah diubah dalam plasmid dan ditempatkan di bawah kontrol promoter konstitutif.
3)    Komponen Tn5 wild-type dimasukkan ke dalam kromosom dari strain P. fluorescens yang berkoloni di sekitar akar.
4)    Plasmid yang membawa komponen Tn5 yang telah diinserikan gen toksin dimasukkan ke dalam bakteri induk yang mempunyai komponen Tn5 wild-type terintegrasi.
5)    Adanya daerah homolog memungkinkan terjadinya persilangan sehingga terjadi pertukaran komponen Tn5 yang diinsersi gen toksin dan komponen Tn5 wild type. Dengan demikian, komponen Tn5 yang membawa gen toksin terintegrasi ke dalam DNA kromosom, secara bersamaan kromoson kehilangan komponen Tn5 wild-type.
Gen toksin yang terintegrasi dalam DNA kromosom tidak akan hilang selama pertumbuhan dalam skala besar di laboratorium atau setelah pembebasan mikroorganisme ke lingkungan. Di samping itu, kemungkinan transfer gen toksin dari mikroorganisme yang satu ke mikroorganisme yang lain di dalam lingkungan sangat rendah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa P. fluorescens yang telah direakayasa sangat toksik terhadap larva ulat tembekau.

EKSISTENSI FORMALIN DAN BAHAYANYA

Oleh : I Wayan Redhana
Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, IKIP Negeri Singaraja

Temuan Formalin pada Makanan
Pada akhir tahun 2005, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita formalin yang ditemukan dalam makanan. Kita sangat sedih dan kecewa mendengarnya karena orang-orang begitu tega menggunakan formalin sebagai pengawet makanan. Padahal, kita ketahui bersama bahwa formalin umumnya digunakan sebagai pengawet mayat untuk mencegah terjadinya pembusukan karena formalin dapat membunuh mikroorganisme. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang mengawasi penggunaan formalin ini? Mengapa penggunaan formalin dalam makanan bisa luput dari pengawasan instansi yang berwenang. Lebih parah lagi, instansi-instansi pemerintah langsung saling tuding pihak mana yang bertanggung jawab atas masalah ini. Sayangnya, makanan berformalin masih banyak dibeli lantaran ketidaktahuan konsumen. Sebagian pembeli juga ingin mendapatkan produk yang awet dengan harga murah. Terlepas dari semua itu, makalah ini tidak bermaksud mengungkap siapa yang bertanggung jawab pada kasus ini, yang penting adalah bagaimana kita sebagai masyarakat mempunyai wawasan tentang dampak formalin terhadap kesehatan manusia sehingga kita lebih berhati-hati dalam memilih makanan. Untuk dapat memilih makanan mana yang berformalin dan makanan mana yang tidak, bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah.
Untuk dapat memberikan gambaran tentang banyaknya penggunaan formalin dalam makanan, berikut akan disajikan beberapa contoh hasil temuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan beberapa peneliti lainnya. Di Jakarta, makanan dengan kadar formalin tinggi ditemukan di 50 pasar tradisional. Hasil uji laboratorium BPOM tersebut memastikan bahwa 56 jenis makanan mengandung formalin tinggi yang sering dimakan oleh masyarakat ibu kota. Sampel ikan asin dari Pasar Jatinegara (Jaktim), Pasar Kebayoran Lama (Jaksel), dan Pasar Kramat Jati masing-masing mengandung formalin 2,36, 48,47, dan 107,98 mg/kg. BPOM Medan pada tanggal 29 Desember 2005 melaporkan bahwa untuk wilayah medan, 45% mi basah dan 30% bakso mengandung formalin dan boraks. Di Surabaya, dari 91 contoh makanan olahan yang di jual di pasaran, sebanyak 24 di antaranya positif mengandung formalin. Di Malang, dari 10 jenis makanan yang diteliti, yaitu sari kelapa, saos, snack jagung, sari apel, petis, dan terasi petis semuanya positif mengandung formalin. BPOM Makasar melaporkan bahwa mi basah, bakso, tahu, dan ikan asin dari 117 sampel yang diperiksa, semuanya dinyatakan tidak memenuhi syarat karena mengandung boraks dan formalin. Laporan BPOM Jawa Barat tahun 2002 menunjukkan bahwa 29 sampel mi basah yang dijual di pasar dan supermarket Jawa Barat, ditemukan 6,9% mengandung boraks, 3,45% mengandung formalin, dan 75,8% mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin dan boraks.
Penelitian yang dilakukan oleh Mena (1994) menunjukkan bahwa tahu yang beredar di pasar tradisional Jakarta 70% mengandung formalin dengan kadar 4,08 – 85,69 ppm. Penelitian Tresniani (2003) menunjukkan bahwa di kota Tangerang terdapat 20 industri tahu yang terdiri dari 11 industri yang memproduksi tahu kuning dan 9 industri yang memproduksi tahu putih. Kandungan formalin dalam tahu berkisar antara 2 – 666 ppm. Penelitian yang dilakukan oleh Melawati (2004) terhadap lima sampel tahu Sumedang yang diambil langsung dari produsen tahu semuanya menunjukkan hasil negatif atau tidak mengandung formalin karena tahu ini habis terjual dalam waktu satu hari.
Ikan asin pun tidak luput dari formalin. Pengawetan ikan sebelumnya menggunakan garam dan penjemuran. Dengan cara ini ternyata hanya menghasilkan rendemen kurang dari separuh (kurang lebih 40%) karena menguapnya air. Kehilangan massa 60% sangat merugikan petani karena harga jual menggunakan satuan kilogram. Jika menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan, rendemen bisa mencapai 75%. Selesih 35% tersebut sangat dikejar oleh petani.
            Penggunaan formalin dalam pengawetan ikan memang mengurangi biaya operasional karena harga formalin hanya Rp 7.000 per liter. Setelah diencerkan dengan air, satu liter formalin ternyata cukup untuk mengawetkan 10 ton ikan hasil tangkapan. Padahal, jika menggunakan es balok, butuh sekitar 350 buah es balok (Rp 7.500 per balok) seharga Rp 2,63 juta. Sangat jauh selisih biayanya. Itu sebabnya petani lebih suka menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan. Mereka tidak peduli dampak obat berbahaya tersebut terhadap kesehatan konsumen atau mungkin saja mereka tidak mengetahui dampak yang ditimbulkannya.
            Isu penggunaan formalin tentu saja sangat meresahkan masyarakat. Bahan tersebut jelas bukan merupakan bahan tambahan pangan (BTP, food additives) sehingga dilarang penggunaannya dalam makanan apapun karena bersifat racun, jika dikonsumsi. Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet makanan sebenarnya sudah dilarang dengan tegas oleh pemerintah. Dasar hukum pelarangan penggunaan formalin dalam makanan di antaranya: UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999. Produsen yang menggunakan formalin dalam makanan dapat diancam hukuman penjara dan denda sampai Rp 1 miliar.
            Adanya formalin dalam makanan sebenarnya sudah lama diketahui, yaitu sejak 25 tahun yang lalu. Namun, temuan-temuan itu tidak ada yang serius menindaklanjuti termasuk tidak direspon oleh pemerintah. Tetapi masalah klasik tersebut kembali menjadi pembicaraan akhir-akhir ini karena temuan BPOM. Fakta ini lebih menyadarkan masyarakat bahwa selama ini terdapat bahaya formalin yang mengancam kesehatan yang berasal dari konsumsi makanan sehari-hari. Mungkin tubuh kita semua pernah dimasuki formalin, tanpa kita sadar. Bagaimana tidak? Bahan kimia berbahaya tersebut, kini hampir ada di setiap jenis makanan yang biasa kita santap sehari-hari. Tahu, mi basah, kwetiau, bakso, ikan asin, cumi-cumi, ikan segar, dan ayam adalah sebagian jenis makanan yang ditemukan mengandung formalin berkadar tinggi.
Makanan berformalin secara sederhana dapat dibedakan sebagai berikut. Makanan berformalin biasanya tidak dihinggapi oleh lalat dan lebih kaku daripada makanan tanpa formalin. Cara lain untuk membedakan adalah bahan makanan/makanan, misalnya ikan, sebagian kecil dibiarkan di tempat terbuka kurang lebih 24 jam, jika tercium bau busuk dan ketika ditekan sangat lembek, maka bahan makanan/makanan tersebut berasal dari bahan makanan/makanan yang segar. Sebaliknya, jika bahan makanan/makanan tersebut tidak menimbulkan bau busuk atau tidak lembek, maka bahan makanan/makanan tersebut patut dicurigai mengandung formalin. Para produsen membubuhkan formalin biasanya dalam kadar minimal sehingga konsumen pada umumnya bingung membedakannya dari bahan makanan/makanan segar. Kita juga harus berhati-hati jika menemui ayam atau daging yang dijual dengan harga relatif jauh lebih murah daripada harga pasaran.

Apa itu Formalin?
Formalin adalah larutan jenuh formaldehid dalam air dan biasanya ditambahkan zat lain, kebanyakan metanol. Umumnya, formalin merupakan larutan 37% massa (40% volume) formaldehid (HCHO, Gambar 1), 6-13% metanol, dan sisanya air. Kandungan metanol dalam larutan formaldehid berfungsi untuk menstabilkan formaldehid yang secara kimia tidak stabil.
Gambar 1. Struktur Formaldehid
Formaldehid merupakan zat yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan dengan kadar formaldehid 40, 30, 20, dan 10% serta dalam bentuk tablet yang massanya masing-masing 5 gram. Pada makalah ini, istilah formalin tetap digunakan walaupun konsentrasi larutan formaldehid tidak sama dengan 40%. Istilah formalin akan sering dipertukarkan dengan istilah formaldehid pada makalah ini.
Nama lain dari formaldehid adalah antara lain: formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, polyoxymethylene glycols, methanal, formoform, superlysoform, formic aldehyde, formatith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene glycol. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan dengan kandungan formaldehid 10-40%.

Penggunaan Formalin
Penggunaan formalin dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak. Formalin merupakan zat anti bakteri atau pembunuh kuman yang banyak digunakan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat, dan beberapa serangga lainnya. Di dunia fotografi, formaldehid biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Pupuk ureapun dibuat dari formalin. Kegunaan lainnya adalah sebagai bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku, dan bahan untuk insulasi busa. Formalin juga digunakan untuk mencegah korosi di sumur minyak. Di bidang industri kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk produksi kayu lapis (playwood). Pada konsentrasi rendah, kurang dari 1%, formalin digunakan sebagai cairan pencuci piring, perawat sepatu, shampo mobil dan karpet.
            Di industri perikanan, formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang biasa hidup pada sisik ikan. Formalin sangat efektif untuk pengobatan penyakit ikan, seperti fluke dan kulit berlendir. Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat formalin daripada akibat penyakitnya. Sementara di dunia kedokteran, formalin digunakan untuk mengawetkan mayat manusia untuk keperluan penelitian mahasiswa kedokteran. Untuk pengawetan ini biasanya digunakan formalin dengan konsentrasi 10%.
Formalin dipakai dalam pembuatan beberapa produk, seperti plastik, karena dapat menimbulkan warna produk menjadi lebih cerah. Formalin juga digunakan untuk pembuatan sutra buatan, zat pewarna, dan cermin kaca. Selain itu, Formalin juga dipakai untuk pembuatan produk rumah tangga, seperti piring, gelas, dan mangkok yang berasal dari plastik atau melamin.

Bahaya Formalin
            Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), secara umum nilai ambang batas aman formaldehid dalam tubuh manusia adalah 1 mg per liter (1 ppm). IPCS adalah lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, dan WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi.
            Bila formaldehid masuk ke dalam tubuh manusia melebihi nilai ambang batas dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan adalah antara lain bersin, iritasi pada tonsil dan tenggorokan, sakit dada, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare, muntah, sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, gangguan peredaran darah, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan kanker. Selain itu, formaldehid juga dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan saraf pusat, dan ginjal. Efek dari formalin tidak dirasakan segera, tetapi akan terasa beberapa tahun kemudian. Konsumsi formaldehid pada dosis tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian.
            Formaldehid dapat membunuh jaringan sel dengan mendehidrasi sel jaringan dan mengubah cairan normal dalam sel menjadi cairan seperti gel. Terjadinya cairan seperti gel ini disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa berbasis formaldehid. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur sel. Ini merupakan sifat koagulasi dari formaldehid. Sel jaringan tersusun dari protoplasma yang mengandung air dan sejumlah senyawa-senyawa kimia. Masuknya formaldehid ke dalam sel jaringan akan “mengeringkan” protoplasma dan merusak sel. Formaldehid ini merupakan zat yang dapat menembus sel dengan mudah.
Formaldehid dalam tubuh dapat bereaksi dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel. Formaldehid dapat membentuk ikat silang antara molekul-molekul polipeptida di dalam tubuh sehingga menyebabkan protein-protein yang berperan penting, terutama enzim-enzim, menjadi berubah konformasinya. Hal ini menyebabkan kelarutan protein menjadi berkurang (protein terkoagulasi). Akibatnya, proses-proses metabolisme akan terganggu yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi sel. Formaldehid juga dapat membentuk ikat silang pada protein histon. Protein histon adalah protein yang terdapat dalam kromosom dan dililit oleh molekul DNA. Perubahan struktur pada protein histon akan mengubah struktur DNA sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pada saat replikasi. Demikian juga pada saat transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi. Keadaan ini dapat menghasilkan protein yang tidak berfungsi sehingga dapat menyebabkan kematian sel. Jika protein yang tidak berfungsi tersebut merupakan protein yang mengendalikan pembelahan sel, maka pembelahan sel menjadi tidak terkendali. Inilah yang menyebabkan kanker.
Pembentukan ikat silang oleh formaldehid tidak saja terjadi antara molekul-molekul protein di dalam tubuh manusia, tetapi dapat juga terjadi antara molekul-molekul protein dalam bahan pangan. Molekul-molekul protein dalam bahan pangan yang telah termodifikasi oleh formaldehid akan sulit dicerna oleh tubuh dan dapat menjadi senyawa yang bersifat toksik bagi tubuh.
Formaldehid juga mempunyai kemampuan untuk mendehidrasi molekul-molekul protein. Hal ini disebabkan oleh energi hidrasi molekul formaldehid lebih besar daripada energi hidrasi molekul protein. Molekul formaldehid dalam cairan tubuh manusia akan menarik molekul-molekul air yang mengelilingi molekul-molekul protein sehingga molekul-molekul protein mengalami perubahan konformasi yang menyebabkan molekul protein tersebut tidak berfungsi.
Formaldehid merupakan ligan yang kuat (donor elektron). Dengan demikian, formaldehid akan dapat mengikat (mengkhelat) ion-ion logam, seperti ion Fe2+, membentuk senyawa kompleks yang stabil. Beberapa ion-ion logam merupakan kofaktor bagi enzim. Akibatnya, enzim enzim menjadi tidak berfungsi tanpa kehadiran kofaktor yang selanjutnya dapat mengganggu proses metabolisme.
Bahaya formalin tidak saja disebabkan oleh formaldehid, tetapi juga oleh metanol yang sengaja ditambahkan ke dalam larutan formaldehid sebagai penstabil. Metanol (kebanyakan digunakan sebagai bahan bakar spritus) merupakan senyawa yang sangat toksik. Dalam tubuh manusia, tidak ada enzim yang dapat mendetoksifikasi metanol, beda halnya dengan etanol. Senyawa ini dapat mendenaturasi enzim-enzim yang berfungsi dalam metabolisme.

Jumat, 06 Mei 2011

Bioreaktor


Pengertian Bioreaktor
Bioreaktor adalah sebuah wadah untuk melakukan proses kimia yang melibatkan organisme atau substansi biokimia aktif yang diambil dari makhluk hidup. Biasanya bioreaktor berbentuk silinder, berkisar dari beberapa liter sampai meter kubik, dan dibuat dari bahan stainless steel.
Merancang bioreaktor adalah perkara rekayasa yang lumayan rumit. Mikroba atau sel hanya mau bereproduksi dengan baik bila kondisi lingkungan optimal. Untuk mencapainya, gas dalam bioreaktor, seperti oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida; aliran; temperatur; pH; serta kecepatan adukan harus terkendali.
               
Jenis-Jenis Bioreaktor
Berdasarkan pemasukan nutrisinya kedalam bioreaktor, ada tiga jenis bioreaktor, yaitu bioreaktor kontinu, semikontinu, dan diskontinu.
1. Bioreaktor Kontinu
Pada bioreaktor kontinu, pemberian nutrisi dan pengeluaran sejumlah fraksi dari volume kultur total terjadi secara terus menerus. Dengan metode kontinu memungkinan organisme tumbuh pada kondisi setimbang (steady state), dimana pertumbuhan terjadi pada laju konstan dan lingkungan stabil. Faktor seperti pH dan  konsentrasi nutrisi dan produk metabolit yang tidak terelakkan berubah selama siklus pertumbuhan pada suatu diskontinu dapat dijaga konstan dalam kultur kontinu.
Dalam suatu bioreaktor kontinu, medium steril dimasukkan kedalam biorekator dengan laju aliran yang konstan, dan kultur yang keluar dari bioreaktor terjadi dengan laju yang sama, sehingga volume kultur di dalam reaktor konstan.  Dengan pencampuran yang efisien, medium yang masuk tersebut menyebar secara cepat dan merata pada seluruh bagian rekator. Contoh dari biorektor kontinu yaitu Reaktor Tangki diaduk Kontinu (RTDK).
Udara steril dimasukkan pada dasar reaktor melalui pipa terbuka atau penyemprot udara. Suattu batang vertical dilengkapi dengan pengarah dengan satu atau lebih impeler. Impeler biasanya dipasang di sepanjang batang pada interval jarak sama dengan diameter reaktor untuk menghindari tipe pergerakan melingkar. Peranan impeler adalah untuk menimbulkan agitasi dalam bioreaktor untuk mempermudah aerasi. Fungsi utama agitasi adalah untuk mensuspensikan dan meratakan nutrisi dalam medium, untuk memberikan hara termasuk oksigen- bagi sel, dan untuk memindahkan panas.
2. Bioreaktor Diskontinu
Pada bioreaktor diskontinu, inokulen dan nutrisi yang akan  diperlukan bagi pertumbuhan dicampur dalam suatu bejana tertutup pada kondisi suhu, pH, dan pencampuran optimum. Sistem ini adalah tertutup, kecuali untuk organism aerobik dimana suplai udara kontinu dialirkan kedalam bioreaktor. Pada bioreaktor diskontinu, laju pertumbuhan dan laju pertumbuhan spesifik jarang konstan. Hal ini menunjukkan adanya perubahan karakteristik nutrisi dari sistem.
Salah satu contoh dari bioreaktor diskontinu adalah Bioreaktor Lumpur Buangan Teraktivasi. Bioreaktor ini digunakan secara luas untuk pengolahan secara oksidasi air buangan dan sampah industri lain. Prosesnya difungsikan untuk meningkatkan pemasukan udara, sehingga bahan organic massa dapat didegradasi secara optimum. Bioreaktor ini sangat besar, sehingga untuk mempermudah pencampuran dan penyebaran oksigen diperlukan sejumlah besar agitator pada kebanyakan pabrik pengolahan air buangan skala kota.
3. Bioreaktor semikontinu
Bioreaktor semikontinu adalah suatu bentuk kultivasi dimana medium atau substratnya ditambahkan secara kontinu atau berurutan ke dalam tumpukan diskontinu awal tanpa mengeluarkan sesuatu dari sistem. Produk yang dihasilkan dari sistem seperti ini dapat melebihi produk yang dihasilkan dari kultur diskontinu. Pendekatan ini secara luas diterapkan dalam industry misalanya dalam produksi ragi yang dibutuhkan untuk pembuatan roti.
Contoh bioreaktor  semikontinu yaitu digestor atau bioreaktor anaerobik, tetapi bioreaktor ini dapat pula dioperasikan secara kontinu. Pengunaan sistem ini pada pengolahan air buangan padat, misalnya lumpur buangan (sludge) yang diperoleh dari pengolahan buangan perkotaan, akan memberikan stabilisasi air buangan yang efisien dan produksi metan yang tinggi. Dalam sistem ini Lumpur buangan dicampur dengan mikroorganisme anaerobic pada suhu 30° C dan waktu retensi hidrolik. Untuk air buangan berkekuatan sedang dari industri makanan dan fermentasi, teknik operasi yang dapat menahan biomassa mikroba lebih lama dalam sistem operasi kontinu sudah ditemukan. Maka waktu retensi zat padat tidak dapat digabung dengan waktu retensi cairan sehingga konsentrasi mikroba yang tinggi dapat terjadi pada digester (atau pada bioreaktor tersebut), yang memberikan laju degradasi yang tinggi. Bagi air buangan yang sangat encer, misalnya buangan kota, waktu retensi zat padat yang sangat panjang diperlukan.
Teknik diskontinu merupakan teknik yang paling dominan digunakan dalam industri, dominasi sistem bioreaktor semikontinu dan diskontinu dalam industri disebabkan oleh beberapa alasan berikut.
1.      Pada waktu tertentu, produk bioteknologi mungkin dibutuhkan dalam jumlah yang relatif sedikit.
2.      Kebutuhan pasar mungkin bersifat musiman.
3.      Masa berlaku produk tertentu pendek (tidak tahan lama).
4.      Konsentrasi produk yang tinggi.
5.      Beberapa produk tertentu hanya dihasilkan pada fase setimbang dari siklus pertumbuhan.
6.      Ketidakstabilan beberapa galur produksi memerlukan pembaharuan secara teratur.
7.      Proses kontinu, secara teknis masih menunjukkan berbagai kesulitan.
Desain Bioreaktor dan Proses Pengendalian Bioreaktor
Bioreaktor adalah sistem tertutup dari sistem biologis untuk suatu proses bioteknologi.
Bioreaktor memberikan lingkungan yang tetap bagi optimasi pertumbuhan organisme dan aktivitas metabolisme. Bioreaktor ini hendaknya mencegah kontaminasi produksi dari lingkungan pada kultur sambil mencegah pelepasan kultur ke lingkungan. Selain itu, bioreaktor tersebut sebaiknya memiliki instrumentasi untuk pemeriksaan agar pengawasan proses yang optimum.
Kriteria dasar desain bioreaktor yaitu sebagai berikut:
1.      Karakterisrtik mikrobiologi dan  biokimia dari sistem sel (mikroba, mamalia, tumbuhan)
2.      Karakteristik hidrodinamik bioreaktor
3.      Karakteristik massa dan panas bioreaktor
4.      Kinetika pertumbuhan sel dan  pembentukan produk
5.      Karakteristik stabilitas genetic dari sistem sel
6.      Desain peralatan yang aseptis
7.      Pengawasan lingkungan bioreaktor
8.      Implikasi desain bioreaktor pada pemisahan produk menghilir
9.      Modal dan biaya operasi bioreaktor
10.  Potensi dan pengembangan desain bioreaktor
Bahan konstruksi bioreaktor hendaknya tidak beracun, mampu menahan tekanan uap dan tahan terhadap korosi kimia dan elektrolitik. Bioreaktor industri biasanya dibuat dari bahan yang dilapisi dengan baja tahan karat. Bioreaktor ada dalam berbagai bentuk dan ukuran. Perbandingan tingginya terhadap diameter atau rasio aspek merupakan parameter yang penting.
Produk-produk yang dihasilkan berdasarkan ukuran dari bioreaktor tersebut dapat dilihat pada table dibawah ini.
No
Ukuran fermentor
Produk
1.
2.
3.

4.
1-20.000
40-80.000
100-150.000

Lebih dari 450.000
Enzim diagnostic, substansi biologi molekuler
Enzim dan antibiotic
Penisilin, antibiotic aminoglikosida, protease, amylase, transformasi steroid, asam amino
Asam amino, asam glutamat

Strategi Perancangan Bioreaktor:
Kinerja bioreaktor ditentukan:
1.      Kinetika reaksi biokimiawi
2.      Fenomena perpindahan massa
Analisis kinerja bioreaktor:
a.       Pengaruh ukuran atau skala bioreaktor terhadap pola pencampuran, pengaliran, perpindahan massa dan panas
b.      Pengaruh laju alir massa yang berbeda dan perpindahan yang berinteraksi dengan kinetika biokatalisis

Deskripsi Bioreaktor
Skala waktu nisbi
Skala panjang nisbi
Kunci analisis bioreaktor:
a.       Identifikasi skala waktu dan panjang: dapat dianalisis dalam skala lebih kecil atau lebih besar daripada ciri proses itu sendiri, pembandingan skala digunakan secara berulang
b.      Metode untuk menciri suatu proses reaksi dan perpindahan
c.       Kemampuan menyelesaikan suatu model matematik berdasar deskripsi suatu bioreaktor

Fenomena Perpindahan Penentu Rancang Bangun Bioreaktor
a.       Kinetika bioproses tergantung pengubahan yang dilakukan oleh enzim/sel makhluk hidup.
b.      Waktu reaksi atau volume bioreaktor tergantung pada laju reaksi.
c.       Laju reaksi dan volume serta rancangan dasar bioreaktor ditentukan oleh perpindahan momentum dan massa.

Spektrum Skala Waktu

Spektrum Skala Panjang

Perpindahan Momentum
a.       Adanya perubahan viskositas media selama bioproses
b.      Adanya perubahan konsentrasi media selama bioproses
c.       Adanya pertumbuhan makhluk hidup
Media
Viskositas pada suhu 200C
Air
Sakarosa 40%
Minyak kedelai
Gliserol
Tetes tebu
1
6
62
1500
6500

Sifat Reologi Media Fermentasi

Faktor yang mempengaruhi Reologi Media



Perpindahan Massa
a.       Sebagian besar bioproses terjadi dalam fasa cair, migrasi molekul dalam cairan relatif lamban.
b.      Perpindahan massa penting apabila bioproses melibatkan beberapa fasa (cair-gas-padat), dan apabila suatu molekul melewati membran alami/sintetik.
Perpindahan massa pada antar muka:
a.       Terjadi pada sistem heterogen terdiri atas beberapa fasa (padatan, cairan, gas atau dua cairan tidak saling melarut)
b.      Perpindahan terjadi dari fasa pertama menuju antar muka, kemudian dari antar muka menuju fasa kedua
Perpindahan Antar Fasa
Perpindahan gas-cairan:
a.       Difusi dari gas ke antar muka gas-cairan
b.      Pergerakan melalui antar muka gas-cairan
c.       Difusi zat terlarut melalui daerah cairan yang tidak tercampur dengan gelembung ke dalam daerah cairan yang tercampur baik
d.      Perpindahan zat terlarut melalui daerah cairan ke daerah cairan kedua yang tidak tercampur di sekeliling sel
e.       Perpindahan melalui daerah cairan kedua yang tidak tercampur yang berhubungan dengan sel makhluk hidup
f.       Perpindahan secara difusi ke dalam flok selular, atau partikel tanah, dan perpindahan melewati dinding sel menuju sisi reaktif intraseluler

Perpindahan Oksigen dari Gelembung Udara ke Bagian Dalam Sel

Perpindahan Oksigen:
a.       Perpindahan dari gas ke antar muka gas-cairan
b.      Pelewatan daerah antar muka (interface)
c.       Perpindahan dari antar muka gascairan ke dalam fasa cairan

Perpindahan massa antar fasa

Agitasi Dalam Bioreaktor
Jenis agitator: impeler/turbin pisau pipih, pedal, heliks/baling-baling (propeler)

TENAGA
AGITASI:
a.       Tidak beraerasi, zalir Newton/non-Newton
b.      Beraerasi, zalir Newton/non-Newton


Pertumbuhan Mikrobia Dalam Bioreaktor
Pertumbuhan mikrobia adalah peningkatan semua komponen sel, sehingga menghasilkan peningkatan ukuran sel dan jumlah sel (kecuali mikrobia yang berbentuk filamen) akan menyebabkan peningkatan jumlah individu di dalam populasi.
Pertumbuhan mikrobia dalam bioreaktor terjadi secara pertumbuhan individu sel dan pertumbuhan populasi pertumbuhan individu sel meliputi peningkatan substansi dan komponen sel, peningkatan ukuran sel serta pembelahan sel. Sedang pertumbuhan populasi meliputi peningkatan jumlah akibat pembelahan sel dan peningkatan aktivitas sel yang melibatkan sintesa enzim.
Dalam pertumbuhan mikrobia juga terlibat proses metabolik yaitu mulai dari transport nutrien dari medium ke dalam sel, konversi bahan nutrient menjadi energi dan konstituen sel, replikasi kromosom, peningkatan ukuran, dan massa sel serta pembelahan sel secara biner yang terjadi pula pewarisan genetik (genom turunan) ke sel anakan.
Kinetika pertumbuhan mikrobia dalam sistem diskontinu, kontinu, dan semikontinu, studi kinetika pertumbuhan dan fermentasi diperlukan sebagai dasar untuk memahami setiap proses fermentasi. Kinetika pertumbuhan mikrobia terutama menguraikan tentang kecepatan produksi sel (biomassa) dan pengaruh lingkungan terhadap kecepatannya. Pengamatan pertumbuhan mikrobia tidak cukup untuk mengetahui apakah biakan tumbuh atau tidak (Pengamatan kuantitatif) tetapi juga diperlukan pengamatan yang bersifat kualitatif dari studi kinetika pertumbuhan.
Pengukuran pertumbuhan secara kuantitatif disajikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan hubungan antara waktu dan jumlah biomassa. Data pengamatan pertumbuhan mikrobia perlu diamati parameter-parameter seperti:
1.      Kecepatan pertumbuhan (specific growth rate)
2.      Waktu mengganda (doubling time)
3.      Hasil pertumbuhan (growth yield)
4.      Kemampuan metabolisme (metabolik quosient)
5.      Affinitas substrat
6.      Jumlah maksimum biomassa
Kinetika untuk pertumbuhan mikrobia pembentuk koloni, filament maupun imobilisasi sel memiliki kinetika pertumbuhan yang lebih kompleks.
Pertumbuhan untuk mikrobia yaitu peningkatan semua komponen di dalam sel sehingga menghasilkan suatu peningkatan ukuran sel dan pembelahan sel (kecuali mikrobia yang membentuk filamen) sehingga terjadi peningkatan jumlah individu di dalam populasi.
Pertumbuhan mikrobia di dalam bioreaktor:
1.      Pertumbuhan individu sel;
a.       Peningkatan substansi dan komponen sel
b.      Peningkatan ukuran sel
c.       Pembelahan sel
2.      Pertumbuhan populasi
a.       Peningkatan jumlah akibat pembelahan sel
b.      Peningkatan aktivitas sel yang melibatkan sintesis enzim
Reproduksi sel bakteri:
1.      Pembelahan biner: proses pembelahan sel menjadi dua sel anakan yang mempunyai ukuran yang sama.
2.      Melibatkan 3 proses:
a.       Peningkatan ukuran sel (pemanjangan sel) : memerlukan pertumbuhan dinding sel, yaitu untuk menutup permukaan pada sisi tertentu.
b.      Replika DNA : indikasi pertumbuhan awal pada sel bakteri.
c.       Pembelahan sel : diawali dengan invaginasi lapisan di bagian tengah sel Hampir semua bakteri menerima DNA.
Proses metabolik yang terlibat dalam pertumbuhan yaitu:
1.      Transfortasi nutrient dari medium ke dalam sel
2.      Konversi bahan nutrient sehingga menjadi tenaga dan konstituen sel  
3.      Replikasi sel kromosom
4.      Pengukuran ukuran dan massa
5.      Pembelahansel secara biner yang dibarengi dengan pewarisan genetic ke sel anakan
 
Dikutip dari makalah biofermentasi I Wayan Madia, Putu Diantarasa dan Ana Farhana
Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Ganesha