Tampilkan postingan dengan label Kimia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kimia. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Mei 2011

PROSES PEMBUATAN FOTO NON DIGITAL


A.    Photograph
Photograph merupakan suatu gambar (foto) dari sebuah obyek yang dibuat dengan menggunakan kamera dan film. Dewasa ini seni photografi banyak digeluti oleh masyarakat yang memiliki hobby untuk mengabadikan gambar real ke dalam sebuah kertas. Dimana gambar yang diharapkan sama persis dengan aslinya namun dalam ukuran yang lebih kecil.
Pada jaman dahulu, orang membuat gambar dengan menggunakan pewarna dan kanvas, namun sekarang dengan ditemukannya kamera, kegiatan bisa didokumentasikan dengan sangat baik dan tidak menyita banyak waktu. Dimana kejadian atau peristiwa tersebut dapat direkam apa adanya
Saat ini ada dua jenis kamera yang digunakan untuk membuat foto, yaitu kamera digital dan kamera non digital. Kamera digital merupakan kamera dengan seperangkat alat berteknologi canggih yang mampu menyimpan data ataupun gambar dalam sebuah memory, dimana gambarnya pun dicetak dengan menggunakan printer sehingga hasilnya lebih memuaskan daripada kamera biasa.
Sedangkan kamera non digital merupkan jenis kamera konvensional yang menggunakan film sebagai tempat untuk merekam obyek yang nantinya diteruskan ke dalam kertas foto untuk dicetak. Adapun proses pembuatan gambar dari kamera non digital akan diuraikan lebih jelas di bawah ini.

B.     Foto Hitam Putih
Film negatif atau klise, adalah sebutan untuk citra yang terbentuk pada film sesudah dipotretkan dan sesudah dikembangkan, di mana bagian yang terlihat gelap pada gambar, pada objek terlihat terang. Warna yang timbul berlawanan karena bagian terang dari objek memantulkan banyak cahaya ke film dan menghasilkan area gelap
Film pada foto hitam putih merupakan emulsi perak halida (biasanya bromida, AgBr) dalam gelatin. Pada proses pembuatan gambar hitam putih, jika film terkena cahaya, butiran perak bromida teraktifkan sesuai dengan tingkat cahaya yang mengenainya. Film yang telah terkena cahaya bila dimasukkan ke dalam larutan pengembang pereduksi lemah misalnya metol, amidol atau hidrokuinon C6H4(OH)2, butir perak bromida teraktifkan membentuk perak logam yang hitam. Semakin kuat intensitas cahaya, perak logam hitam yang terjadi semakin banyak. Begitu pula sebaliknya, Semakin lemah intensitas cahaya maka perak logam hitam yang terbentuk sedikit.

Apabila film/ kertas foto terkena cahaya, akan terjadi reaksi :
AgBr       ----->      AgBr*
Tanda * menyatakan AgBr tereksitasi oleh cahaya. Apabila film yang telah digunakan dan terkena cahaya tersebut dicuci dalam larutan pengembang (developer), akan terjadi reaksi :
2 AgBr *(s) + C6H6O2 (aq)        ----->    2 Ag(s) + 2 HBr(aq) + C6H4O2
Cairan pengembang C6H6O2 (hidrokuinon), dalam hal ini bertindak sebagai zat pereduksi. Jadi dalam reaksi itu terjadi proses reaksi redoks.
Oksidasi :
C6H6O2 (aq)   ------>      C6H4O2 (aq) + 2 H+ + 2 e
Reduksi:
2 Ag+ + 2 e    ----->      2 Ag (s)
Di samping hidrokuinon, dalam larutan pengembang perlu ditambahkan metol (N-metil-p-aminofenol sulfat). Metol berfungsi sebagai zat superaditif, yang efeknya tidak dapat digantikan dengan memberikan jumlah yang berlebih pada hidrokuinon yang sudah ada. Metol ini bertindak sebagai zat pereduksi juga. Aktivitas hidrokuinon dapat dipacu dengan menambahkan sedikit phenidone (1-phenyl-3-pyrazolidinone). Karena larutan pengembang/developer ini bekerja efektif pada lingkungan basa, maka kita perlu mencampurkan larutan kalium karbonat (atau natrium karbonat) sebagai aktivator untuk memperoleh lingkungan basa dengan pH 9,5 - 10,5.

Cara kerja cetak film hitam putih
Film dipasang di bawah enlarger, lalu cahaya 100 watt dinyalakan. Akan tampak bayangan film itu di atas kertas. Kalau bayangan itu sudah tepat, matikan lampu dan ganti kertas dengan kertas cetak foto. Nyalakan kembali lampu selama sekian detik. Kertas foto kemudian dicelupkan pada larutan pengembang selama beberapa menit. Angkat, kemudian ganti celupkan ke dalam larutan stop batch untuk menghentikan reaksi.
Selanjutnya kertas foto itu dicelupkan pada larutan fixer, lalu kertas foto dibilas dengan air mengalir. Jadilah sebuah foto yang indah, yang kualitasnya bergantung pada lama pencahayaan, jauh dekatnya film dengan kertas foto, waktu pencelupan, kualitas kertas foto, pembilasan, dan sebagainya.
Proses penetralan
Setelah film dicelupkan pada larutan pengembang, maka tahap berikutnya adalah tahap penghentian reaksi sekaligus menetralkan sifat basa yang berasal dari larutan pengembang. Caranya dengan mencelupkan kertas/film pada larutan asam asetat yang telah diberi larutan sodium sulfat untuk mencegah adanya efek swelling. pH larutan dijaga pada kondisi 4 - 5,5.
Proses fiksasi
Logam perak hitam yang terbentuk menghasilkan bayangan film. Agar bayangan film melekat pada film maka harus difiksasi (diikat). Pengikat (fikser) yang umum dipakai adalah natrium tiosulfat. Fiksasi juga bertujuan melarutkan perak bromida yang tidak tereduksi menjadi perak (kalau tidak dihilangkan, jika kertas foto terkena cahaya, akan timbul bayangan hitam tambahan.
Pada proses pengikatan terjadi reaksi sebagai berikut : AgBr(s) larut dalam larutan fikser terbentuk ion perak kompleks.
AgBr(s) + 2 S2O32-  ----->        [Ag(S2O3)2]3- + Br1-
Proses pembilasan
Tahap akhir setelah fixing adalah pembilasan dengan guyuran air mengalir supaya terbentuk bayangan yang permanen. Proses pembilasan ini bertujuan membuang kompleks perak tiosulfat dan ion tiosulfat. Jika ion tiosulfat masih tertinggal pada film/ kertas foto, maka zat ini akan bereaksi dengan perak yang sudah terbentuk foto/ gambar, sehingga bayangan foto akan menjadi kecoklatan/ kekuningan karena akan terbentuk noda-noda perak sulfida. Jadi pembilasan dengan air yang mengalir itu sangat perlu supaya kualitas foto/ gambar menjadi baik.
S2O32- + 2 Ag     ----->     SO32- + Ag2S
Hasil dari proses ini adalah gambar dengan berbagai nuansa hitam putih di atas seluloid yang kita kenal dengan negatif film. Dari negatif dibuat foto dengan jalan mencetak pada selembar kertas foto. Bagian hitam pada negatif menghasilkan gambar putih pada foto sedangkan bagian putih pada negatif menghasilkan gambar hitam pada foto. Disebut negatif film karena gambar yang tercetak berlawanan dengan filmnya.
Kira-kira hanya 25 % perak bromida yang menjadi perak logam hitam dari perak bromida seluruhnya, sisanya sebanyak 75% larut bersama fikser. Jika fikser telah jenuh dengan perak, maka larutan ini tidak dapat dipakai lagi. Harus diganti dengan yang baru. Larutan jenuh tersebut menjadi limbah utama laboratorium cuci cetak foto. Limbah dengan kandungan perak 75% tidak boleh dibuang sembarangan karena logam berat Ag akan mencemari lingkungan. Oleh karena itu limbah ini dapat dimanfaatkan untuk penyepuhan perak. Kandungan ion perak yang cukup besar dalam larutan diambil dengan cara elektrolisis. Yang menjadi masalah adalah tidak semua logam Ag terambil sehingga perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai kondisi optimum seperti suhu larutan, pH dan lamanya elektrolisis.

C.     Foto Berwarna
Proses pembuatan foto berwarna tidak jauh berbeda dengan pembuatan foto hitam putih antara lain pemilihan film, pemotretan hingga cuci cetak.

Struktur Fisik Film Warna
Dalam mempelajari fotografi berwarna kita berpegang pada pengertian:
  1. Cahaya putih baik yang datang dari matahari yang akan merangsang perakhalida film berwarna, maupun dari lampu alat pembesar yang akan merangsang perakhalida kertas foto berwarna, terdiri dari kombinasi tiga cahaya berwarna yaitu: biru, hijau, dan merah.
  2. Emulsi yang terdapat pada film berwarna maupun pada kertas foto berwarna terdiri dari tiga lapis yang masing-masingnya mengandung perakhalida yang dapat merekam cahaya biru, hijau, dan merah.

Kamis, 05 Mei 2011

Analisis Asam Cuka Perdagangan


Pembuatan Larutan Standar NaOH dan H2C2O4
Untuk mentitrasi asam cuka (CH3COOH) digunakan larutan NaOH 0,1 N sebagai titran. Larutan NaOH ini dibuat dengan melarutkan sebanyak 4 gram padatan NaOH menjadi 1000 mL larutan. Massa NaOH yang diperlukan untuk membuat larutan 0.1 N diketahui dari perhitungan berikut :
Konsentrasi NaOH     = 0,1 N = 0,1 M (karena NaOH merupakan basa valensi 1)
Volume larutan yang dibuat   = 1 L
Massa molar NaOH                = 40 gram/mol
Massa NaOH                          = mol x massa molar
                                                = Volume x Molaritas x massa molar
                                                = 1 L x 0, 1 mol/L x 40 gram/mol
                                                = 4 gram
Sebelum digunakan untuk mentitrasi asam cuka, larutan NaOH ini distandarisasi terlebih dahulu karena NaOH merupakan zat yang mudah terkontaminasi, bersifat higroskopis sehingga mudah menarik uap air dari udara dan juga mudah bereaksi dengan CO2 dalam udara. Di mana pada kedua proses ini menyebabkan penimbangan sejumlah tertentu NaOH tidak akan memberikan kepastian massa yang sesungguhnya, karena jumlah air dan CO2 yang diserap oleh NaOH tidak diketahui dengan pasti. Hal ini mengakibatkan kensentrasi NaOH yang dihasilkan juga tidak tepat. Dengan demikian apabila menggunakan NaOH sebagai pereaksi dalam suatu titrasi maka zat tersebut harus distandarisasi sebelumnya.
Untuk menstandarisasi larutan NaOH ini digunakan larutan asam oksalat 0,1N, larutan ini digunakan sebagai larutan standar primer karena larutan ini tidak bersifat higroskopis dan memiliki berat ekuivalen yang tinggi sehingga dapat mengurangi kesalahan dalam penimbangan zat.
Pembuatan larutan standar H2C2O4 0,1 N dilakukan dengan melarutkan 0,6303 gram kristal H2C2O4 menjadi 100 mL. Penentuan massa H2C2O4 yang akan digunakan dalam pembuatan larutan H2C2O4 0,1 N sesuai perhitungan berikut :
Konsentrasi H2C2O4 = 0,1 N = 0,05 M (karena H2C2O4 merupakan asam valensi 2)
Volume larutan yang dibuat   = 100 mL
Massa molar H2C2O4               = 126,07gram/mol
Massa H2C2O4                         = mol x massa molar
                                                = Volume x Molaritas x massa molar
                                                = 0,1 L x 0, 05 mol/L x 126,07 gram/mol
                                                = 0,6303 gram
Standarisasi larutan NaOH dilakukan dengan titrasi menggunakan indikator fenolftalein (trayek pHnya 8,2-10). Pemilihan indikator felnolftalein karena pada standarisasi ini merupakan titrasi asam lemah (H2C2O4) dan basa kuat (NaOH) sehingga titik ekivalennya diatas 7 dan berada pada trayek indikator fenolftalein.
Pada standarisasi ini NaOH digunakan sebagai titran sementara asam oksalatnya sebagai titrat karena mengingat indikator yang digunakan adalah fenolftalein sehingga ketika PP ditambahkan pada asam oksalat, akan menunjukkan warna bening. Ketika pada titik ekivalen, akan terjadi perubahan dari bening menjadi merah muda. Jika asam oksalat yang digunakan sebagai titran dan NaOH sebagai titrat maka akan terjadi perubahan warna dari merah muda ke bening. Pada dasarnya, perubahan warna dari bening ke merah muda lebih mudah diamati daripada perubahan warna dari merah muda ke bening. Dan juga penggunaan asam oksalat sebagai titran kemungkinan besar akan menyebabkan kesalahan titrasi yang besar karena terjadi kelebihan penambahan titran hingga melewati titik ekivalen. Kelebihan titran ini disebabkan karena kesulitan mengamati perubahan warna dari merah muda ke bening.
Asam oksalat kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan PP menghasilkan larutan bening. NaOH ditempatkan sebagai titran karena pada saat terjadi titk ekivalen lebih mudah diamati yaitu dengan berubahnya warna larutan dari bening menjadi merah muda. Jika asam oksalat ditempatkan sebagai titran maka kita akan sulit menentukan titik akhir titrasinya karena akan sangat sulit mengamati perubahan warna dari merah muda menjadi bening.

Standarisasi NaOH dengan Menggunakan H2C2O4
Berdasarkan data percobaan yang kami lakukan, data volume titran yang didapatkan pada proses standarisasi yaitu 10,20 mL, 10,35 mL, 10,22 mL, dimana rata-rata volume titran adalah 10,26 mL. Menurut kajian tipe kesalahan statistik, data yang kami dapatkan termasuk tidak tepat dan tidak teliti. Hal ini dikarenakan data volume titran yang didapatkan memiliki kedapatulangan rendah (kesalahan acak besar) hanya berkisar 10,20 mL sampai 10,35 mL sehingga data tersebut tidak tepat. Kemudian rata-rata yabg didapatkan adalah 10,067 mL berarti data tidak teliti karena nilai rata-rata percobaan jauh dengan nilai rata-rata teoritis yaitu 10,00 mL.
Dari titrasi yang telah dilakukan diperoleh rata-rata volume NaOH yang digunakan dalam titrasi dengan 10 mL H2C2O4 0,1 N adalah 10,26 mL. Dengan demikian dapat dihitung konsentrasi NaOH sesuai perhitungan berikut :
Volume NaOH (V1)                = 10,26 mL
Volume  H2C2O4 (V2)             = 10 mL
Normalitas H2C2O4 (N2)         = 0,1 N
                                  V1 x N1 = V2 x N2
 N1 = V2 x N2 /V1 = 10 mL x 0,1 N / 10,26 mL = 0,097 N

Pengkonversian Kadar Asam Cuka Menjadi Normalitas
Untuk menganalisis asam cuka dalam cuka perdagangan dapat dilakukan dengan titrasi netralisasi. Titrasi ini merupakan titrasi alkalimetri, proses titrasi dengan larutan standar basa untuk mentitrasi asam bebas. Dalam titrasi ini digunakan buret yang berukuran 25 mL dengan tingkat ketelitian 0,05 mL. Set alat titrasi ditunjukkan pada Gambar 02.

Terlebih dahulu perlu ditentukan perkiraan konsentrasi asam cuka yang akan dititrasi tersebut. Pada label asam cuka yang digunakan tercantum kadar asam cuka 25%. Persen yang dimaksud adalah persen berat/volum (b/v). Dalam perhitunngan diasumsikan  (massa jenis)  asam cuka perdagangan tersebut = 1 gram/mL. Konsentrasi asam cuka dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut.
M = [rho (gram/mL)x kadar zat x 1000mL/L] / Massa molar (gram/mol)
    = [1 grma/mL x 25/100 x 1000 mL/L] / 60 gram / mol
    = [ 1 x 25/100 x 1000 mL/L] / 60
    =  4,17 mol/L = 4,17 M
N = M x n = 4,71 M x 1 = 4,71 N
Karena dalam titrasi ini, digunakan standar NaOH yang konsentrasinya + 0,1 N sehingga larutan asam cuka ini perlu diencerkan terlebih dahulu agar konsentrasinya menjadi + 0,1 N. Dalam percobaan ini dilakukan 40 kali pengenceran asam cuka (dari volume 25 mL menjadi 1000 mL).   

Titrasi Asam Cuka Dengan NaOH
Titrasi asam cuka ini dilakukan pada konsentrasi  + 0,1 N. Hal ini bertujuan untuk mengefisienkan NaOH yang akan digunakan sebagai penitrasi. Sehingga larutan asam cuka perdagangan  ini (yang konsentrasinya  + 4,17 M) diencerkan terlebih dahulu. Pada pengenceran ini, dilakukan pengenceran sebanyak 40 kali, di mana sebanyak 25 mL larutan asam cuka perdagangan diencerkan menjadi 1000 mL. Pada proses titrasi ini digunakan indikator phenolptalein (PP) dengan trayek pH 8,2 – 10 dimana berwarna bening pada kondisi asam dan merah pada kondisi basa. Alasan digunakan indikator PP dapat dilihat dalam perhitungan berikut.
a.       Pada titik awal, larutan hanya mengandung asam lemah dan pH larutan diturunkan dari konstanta disosiasi asam (Ka) dan konsentrasinya. Ka = 1,75 x 105
[H+] = akar Ka x Ca
pH   = - log akar Ka x Ca
pH   = - log akar 1,75 x 10-5x 0,1 = -log 1,32 x 10-3 = 2,88
b.      Setelah penambahan titran sampai sebelum titik ekivalen, sistem larutan adalah buffer dan pH larutan dihitung dari konsentrasi asam sisa dan garam yang terbentuk.
pH = pKa + logCg/Ca
Misalkan telah ditambahkan 9,000 mL NaOH, sehingga konsentrasi asam lemah sisa dan garam yang terbentuk masing-masing adalah 0,1/19 M dan 9,9/19 M.
pH = 4,76 + log 9/1 = 5,71
c.       Pada saat titik ekivalen, larutan yang terbentuk adalah suatu garam yang terhidrolisis, sehingga pH larutan dihitung dari garam yang terbentuk.
pOH = ½ pKw – ½ pKa – ½ log Cg
Pada saat titik ekivalen telah ditambahkan 10,000 mL NaOH, sehingga konsentrasi garam yang terbentuk 1/20 mL.
pH = 7 + 2,38 + (-0,65) = 8,73
d.      Setelah titik ekivalen, sistem larutan yang terbentuk menjadi basa kuat dan pH dihitung dari sisa basa kuat.
pOH = - log [OH-]
Misalkan telah ditambahkan 10,100 mL NaOH, sehingga konsentrasi NaOH sisa adalah 0,01/20,100 M.
pOH = - log 0,01/20,100 = 3,30
pH = 10,7
Dari perhitungan di atas dapat dilihat bahwa pH pada titik ekivalen adalah 8,73. Kelebihan penambahan 1 tetes titran hanya akan memberikan pH di bawah 10,7 berarti masih pada trayek pH PP. Oleh karena itu penggunaan indikator fenolftalein pada percobaan ini sudah tepat karena pada titik ekivalen terletak pada trayek pH PP>
Dalam titrasi ini, titrasi dihentikan ketika warna titrat (pada labu erlenmeyer) menunjukkan perubahan warna dari bening  menjadi merah, di mana warna merah tersebut tetap bertahan selama lebih dari 30 detik ataupun ketika dikocok. Warna titrat saat titrasi dihentikan ditunjukkan pada Gambar 03.

Penentuan Kadar Asam Cuka
Berdasarkan data percobaan yang kami lakukan, data volume titran yang didapatkan yaitu 10,050 mL, 10,050 mL, dan 10,100 mL, di mana rata-rata volume titran yang digunakan adalah 10,067 mL. Menurut kajian tipe kesalahan statistik, data yang kami dapatkan termasuk tepat dan teliti. Hal ini dikarenakan data volume titran yang didapatkan memiliki kedapatulangan tinggi yaitu hanya berkisar antara 10,050 mL sampai 10,100 mL sehingga data tersebut dapat dikategorikan tepat. Kemudian rata-rata yang didapatkan adalah 10,067 mL berarti data teliti karena nilai rata-rata percobaan sangat dekat dengan nilai rata-rata teoritis yaitu 10,000 mL.
Penentuan konsentrasi asam cuka perdagangan.
V NaOH = 10,067 mL
N NaOH = 0,097 N
V CH3COOH= 10,067 mL
N CH3COOH= .............?
            V NaOH . N NaOH = V CH3COOH . N CH3COOH
            10,067 mL x 0,097 N = 10,067 mL x N CH3COOH
            N CH3COOH = 0,0977 N = 0,0977 M.
Molaritas CH3COOH = 40 x 0,0977 M = 3,9080 M
Gram CH3COOH = 3,9080 mmol/mL x 60 mg/mmol = 234,5 mg/mL = 0,234 gr/mL
Persentase CH3COOH (b/v) = 0,234 x 100% = 23,4%.

SIMPULAN
Dari hasil percobaan yang dilakukan maka dapat ditarik kesmpulan sebagai berikut:
1.      Prosedur percobaan sederhana  penentuan kadar asam cuka dalam cuka perdagangan adalah:
a.       Ditentukan konsentrasi asam cuka yang akan dititrasi dengan mengkonversi % asam cuka dari label botol kemasan kedalam normalitas (N). Apabila tidak sesuai dengan konsentrasi titran (konsentrasi asam cuka terlalu tinggi) bisa dilakukan pengenceran sehingga didapat konsentrasi 0,1 N.
b.      Dibuat larutan NaOH dengan konsentrasi 0,1 N.
c.       Dibuat larutan standar Asam Oksalat (H2C2O4) dengan konsentrasi 0,1 N.
d.      Terlebih dahulu NaOH 0,1 N distandardisasi dengan H2C2O4 0,1 N. Asam oksalat sebagai titrat, sedangkan NaOH sebagai titran. Indikator yang digunakan dalam titrasi adalah indikator fenolftalein (PP). Konsentrasi NaOH hasil standarisasi dihitung.
e.       Dengan menggunakan pipet volume, dipipet 10 mL larutan asam cuka (yang telah dititrasi) dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer.
f.       Ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolptalein.
g.      Dimasukkan larutan NaOH yang telah distandarisasi sebagai zat peniter (titran) ke dalam buret.
h.      Sambil menggoyang-goyangkan labu, diteteskan sedikit demi sedikit larutan NaOH ke dalam labu erlenmeyer dan diamati perubahan warna dari indikator.
i.        Titrasi dihentikan ketika titik akhir titrasi dicapai, yang ditandai dengan perubahan warna indikator dari tidak berwarna menjadi merah, pada keadaan netral atau kelebihan sedikit basa.
j.        Diulangi titrasi minimal sebanyak 3 kali.
2. Kadar asam cuka dalam cuka perdagangan yang didapatkan melalui percobaan adalah 23,4 %.

JAWABAN PERTANYAAN
1.      Kami tidak yakin dengan kadar asam cuka yang tertera pada label cuka perdagangan. Oleh karena itu maka kami melakukan analisis asam cuka dalam cuka perdagangan secara titrimetri.
2.      Konsentrasi larutan standar basa yang perlu disiapkan jika kadar asam asetat pada cuka sekitar 10% adalah 0,1 N. Perhitungannya adalah sebagai berikut.
M = [rho (gram/mL)x kadar zat x 1000mL/L] / Massa molar (gram/mol)
    = [1 grma/mL x 10/100 x 1000 mL/L] / 60 gram / mol
    = [ 1 x 10/100 x 1000 mL/L] / 60
      =  1,17 mol/L = 1,17 M
N = M x n = 1,17 M x 1 = 1,17 N
Larutan kemudian diencerkan 20 kali sehingga diperoleh  konsentrasi asam cuka + 0,1 N. Fungsi pengenceran ini adalah untuk meminimalisir jumlah titran yang akan digunakan dalam titrasi.

Kamis, 28 April 2011

Efektifitas Metode Penyulingan Daun Cengkeh (Caryophylli folium) Terhadap Mutu Minyak Atsirinya


Minyak atsiri sebagai bahan wewangian (parfum dan kosmetik “essence”), penyedap makanan (flavoring agent) dan obat-obatan (industri farmasi) telah lama dikenal. Minyak ini disebut juga dengan minyak terbang (volatil oil) atau minyak eteris. Melalui penelitian laboratorium sekarang telah banyak ditemukan tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri. Salah satu contohnya adalah tanaman cengkeh (Eugeina aromatica OK atau Syzigium aromaticum (L)).
Dengan kemajuan teknologi dalam dibidang minyak atsiri, usaha penggalian sumber-sumber minyak atsiri dan pendayagunaan dalam kehidupan manusia semakin meningkat. Di samping itu, pertambahan jumlah penduduk dunia dan meningkatnya pendapatan per kapita di berbagai negara menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan minyak atsiri. Peningkatan kebutuhan tersebut akan diikuti dengan perkembangan harga yang semakin meningkat, diharapkan perkembangan pemasaran minyak atsiri mempunyai masa depan yang cukup bagus. Dengan kemajuan teknologi, telah ditemukan pula persenyawaan sintesis yang berbau wangi, yang merupakan saingan bagi minyak atsiri alamiah karena mempunyai harga yang relatif murah. Namun demikian minyak atsiri alamiah tetap akan lebih unggul, karena komponennya terdiri dari campuran berbagai persenyawaan yang disintesa secara alami sehingga menghasilkan bau khas wangi alamiah yang harmonis dan tidak dapat ditiru.
Tanaman cengkeh sering dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan tradisional dan upacara keagamaan, terutama di India dan Tiongkok. Kini pemanfaatannya beraneka macam, mulai digunakan sebagai rempah-rempahan, bahan campuran rokok kretek dan bahan pembuatan minyak cengkeh.
Bagian yang dapat menghasilkan minyak atsiri pada tanaman cengkeh adalah bunga, tangkai bunga dan daunnya. Tetapi bagian yang sering disuling adalah tangkai bunga dan daunnya, sedangkan bunganya langsung dimanfaatkan dalam keadaan kering. Minyak yang diperoleh dari daun cengkeh (Caryophylli folium) disebut minyak cengkeh (CLoveLeaf Oil).
Suatu masalah yang sering dihadapi dalam memproduksi minyak atsiri adalah cara yang harus ditempuh agar dapat diperoleh minyak atsiri dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Banyak cara yang telah dilakukan misalnya dengan melakukan perajangan terhadap bahan yang akan disuling. Perajangan terbukti dapat meningkatkan mutu dan rendemen minyak yang dihasilkan.
Dari beberapa cara yang telah dicoba ternyata pemilihan metode penyulingan cukup mendapat perhatian. Pada proses pembuatan minyak atsiri khususnya, minyak cengkeh kadang-kadang menggunakan metode penyulingan air dan terkadang juga menggunakan penyulingan uap. Pada dasarnya kedua metode tersebut menerapkan prinsip yang sama yaitu bahan organik dari bahan suling akan membentuk campuran yang tidak saling melarutkan dengan cairan pengekstrak yaitu air. Hal ini penting untuk menghindari penguraian komponen minyak sebelum mencapai titik didihnya. Namun kedua metode tersebut akan memberikan interaksi yang berbeda antara bahan yang disuling dengan bahan pengekstrak.
Mutu minyak cengkeh ditentukan oleh komposisi kimianya. Komponen utama minyak cengkeh adalah eugenol yaitu sekitar 70-90 % dan merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat, bila kena cahaya matahari berubah menjadi coklat hitam yang berbau spesifik. Sebagai komponen tambahan adalah kariofilen oksida, metil-n-amil keton, metil alkohol, furtural, 2-heptanol, serta furturil alkohol. Walaupun keberadaannya sangat sedikit namun komponen tambahan ini sangat menentukan aroma minyak.
Eugenol merupakan zat cair berbentuk minyak dengan sifat fisika sebagai berikut : berwarna kekuning-kuningan, larut dalam alkohol, eter, kloroform, sukar larut dalam air, mempunyai titik didih 253oC pada 760 mmHg, berat jenisnya 1,0651 pada 25oC, indeks biasnya 1,5412 pada 20oC, dan mempunyai berat molekul 164,20.

DETEKTOR RADIASI


Detektor radiasi merupakan tranducer (sensor) yang dapat mengenali adanya radiasi nuklir, baik alfa, beta, maupun gamma. Pendeteksian radiasi ionisasi di alam sekitar menjadi sangat penting karena tubuh manusia tidak mampu mengindera kehadiran radiasi ionisasi. Konsep dasar pendeteksian radiasi ionisasi didasarkan atas interaksi partikel radiasi dengan materi penyusun detektor, sehingga terjadi ionisasi.

Pengetahuan tentang inti isotop radioaktif dapat diperoleh dengan menganalisa partikel-partikel yang dipancarkan oleh inti tersebut. Analisa ini diantaranya digunakan untuk mengetahui informasi jenis partikel radiasi, arah gerak, kecepatan, momentum, muatan, massa dan spin. Dengan demikian, untuk mengetahui informasi tentang partikel radiasi diperlukan suatu eksperimen menggunakan peralatan deteksi radiasi. Namun sayangnya semua informasi ini tidak dapat diperoleh jika hanya menggunakan satu jenis peralatan deteksi.

Semua jenis peralatan deteksi partikel radiasi memiliki prinsip yang sangat mirip, yaitu partikel radiasi memasuki detektor dan terjadilah interaksi antara partikel radiasi dengan material detektor, sehingga terjadi proses eksitasi atau ionisasi molekul-molekul material detektor. Apabila material detektor tersebut terbuat dari gas, maka interaksi antara semua partikel radiasi alpha (α), beta positif (β+), beta negatif (β-), gamma (γ) dan netron dengan gas akan terjadi proses ionisasi yang menghasilkan ion positif dan elektron. Dengan demikian, diperlukan teknik untuk memisahkan dua jenis partikel tersebut dalam waktu yang sangat singkat, karena apabila kedua jenis partikel ini tetap berdekatan maka mereka akan bergabung kembali sehingga tidak menimbulkan sinyal listrik. Pemilihan material detektor sangat bergantung pada jenis partikel radiasi yang akan dideteksi serta tujuan yang ingin diperoleh dari pendeteksian. Partikel alpha (α) memiliki daya tembus kecil, sehingga detektor untuk partikel radiasi alpha (α) memiliki ukuran sangat tipis. Berdasarkan daya tembus partikel, maka biasanya detektor partikel beta (β) memiliki ketebalan sekitar 0,1 mm - 1 mm sedangkan detektor gamma (γ) memiliki ketebalan sekitar 5 cm.

Jenis Detektor Radiasi
1.                  Elektroskup (Electroscope)
2.                  Kamar Ionisasi (Ionization Chamber)
3.                  Pencacah Proporsional
4.                  Detektor NaI(Tl)
5.                  Detektor Isian Gas

1.                  Elektroskup
Elektroskup merupakan peralatan yang paling awal untuk mendeteksi ionisasi radiasi dari dua buah kepingan emas tipis. Bahan radioaktif ditempatkan di dalam wadah electroscope bermuatan. Radiasi yang dihasilkan oleh bahan radioaktif tersebut menyebabkan gas yang ada di dalam electroscope tersebut terionisasi.
Muatan-muatan yang terkumpul pada kepingan itu menyebabkan kepingan itu menyatu (converge). Laju konvergensi itu secara langsung sebanding dengan jumlah ionisasi dan juga sebanding dengan jumlah radiasi.

2.                  Kamar Ionisasi
Kamar ionisasi tersusun atas sejumlah volume gas kecil pada tekanan atmosfer dalam kamar, I dan di dalamnya terdapat dua elektroda, E dan E’, dipertahankan pada beta potensial tinggi menggunakan sumber tegangan, V.

Berkas radiasi masuk ke dalam chamber sehingga menyebabkan ionisasi. Ion yang dihasilkan pada ionisasi itu dikumpulkan pada elektroda + dan - . Tegangan dijaga tetap tinggi, sehingga tidak ada rekombinasi partikel.


a.                   Kamar Ionisasi untuk berkas partikel kontinue atau x-ray
b.                  Kamar Ionisasi dan rangkaian untuk deteksi berkas partikel tunggal
 
1.                  Pencacah Proporsional
Pencacah Proporsional merupakan bentuk modifikasi dari kamar ionisasi, perbedaannya terdapat pada dua aspek.
     i.         Pada pencacah proporsional salah satu elektroda berupa silinder berlubang (hollow cylinder),  dan satu elektroda lagi berupa kawat di dalam silinder sepanjang sumbu silinder itu.
   ii.         Tegangan yang terpasang pada pencacah proporsional lebih besar daripada kamar ionisasi. Ukuran pulsa akan meningkat sejalan dengan kenaikkan tegangan sampai dengan batas tegangan tertentu. Ukuran pulsa berbanding langsung dengan jumlah ionisasi primer partikel.

2.                  Detektor NaI(Tl)
Detektor NaI(Tl) merupakan detektor jenis sintilasi. Bahan sintilator berupa kristal tunggal Natrium Iodida yang didopping dengan sedikit  Tallium. Sinar gamma yang terdeteksi berinteraksi dengan atom-atom bahan sintilator berupa interaksi efek fotolistrik, hamburan Compton dan efek pembentukan pasangan. Elektron bebas hasil interaksi selanjutnya akan mengalami proses ionisasi dan penetralan (excitasi).






1.                  Detektor Isian Gas
Interaksi semua partikel radiasi dengan gas adalah proses ionisasi dan menimbulkan ion positif dan elektron. Untuk memisahkan kedua jenis partikel yang berlainan tersebut digunakan medan listrik yang ditimbulkan oleh dua buah elektroda yaitu anoda yang bermuatan listrik positif dan katoda yang bermuatan listrik negatif. Prinsip ionisasi gas oleh partikel radiasi dapat digunakan untuk mengembangkan detektor radiasi. Detektor dengan prinsip ionisasi gas ini disebut detektor isian gas (gas-filled detector) Bentuk fisik dari detektor isian gas terdiri dari tabung gas yang berisi gas yang akan terionisasi oleh kehadiran pertikel radiasi. Gas yang biasa digunakan adalah gas mulia dengan campuran gas poliatomik sebagai ‘quench gas’, tetapi ada juga yang hanya diisi dengan udara biasa dengan tekanan sedikit lebih rendah dari pada tekanan udara diluar. Tutup silinder yang terletak di bagian depan detektor terbuat dari material sejenis polimer tipis sedemikian sehingga partikel alpha (α) dapat menembusnya. Selongsong silinder berfungsi sebagai katoda dan kawat yang terletak di sumbu silinder dan terisolasi dengan dinding silinder sebagai anoda. Beda tegangan (V) dipasangkan antara dinding silinder dengan anoda melalui hambatan (R).

Prinsip Kerja Detektor Isian Gas
Detektor isian gas bekerja dengan memanfaatkan ionisasi yang dihasilkan oleh radiasi selama melewati suatu gas. Secara khas pencacah seperti ini terdiri dari dua buah elektrode yang diberi beda potensial listrik tertentu. Ruang antara dua elektrode itu diisi dengan suatu gas. Radiasi pengion, yang melewati ruang antara elektrode tersebut, akan melesapkan sebagian atau semua energinya dengan membangkitkan pasangan-pasangan elektron ion. Elektron dan ion ini merupakan pembawa muatan yang bergerak karena pengaruh medan listrik. Ketika radiasi memasuki detektor kemudian berinteraksi dengan atom-atom gas isian maka atom-atom tersebut akan mengeluarkan elektron dari orbitnya. Elektron-elektron ini kemudian dikumpulkan menggunakan medan listrik dan dibentuk menjadi pulsa tegangan atau arus listrik yang dapat dianalisa oleh suatu rangkaian elektronik. Dengan kata lain muatan yang dihasilkan oleh radiasi tersebut diubah menjadi pulsa oleh piranti elektronika dan partikel-partikel itu dicacah secara individual

 

Gambar 1. Skema Detektor Isian Gas
Misalkan antara anoda dan katoda terpasang beda potensial sebesar V volt dan radiasi memasuki detektor sehingga terbentuklah sejumlah elektron dan ion-ion positif. Amplitudo sinyal listrik yang terbentuk sebanding dengan jumlah elektron atau ion ( dengan demikian sebanding dengan tenaga radiasi yang memasuki detektor) dan tidak tergantung pada tegangan V. Beda tegangan antara katoda dan anoda hanyalah mempengaruhi laju gerak elektron menuju ke anoda dan ion positif menuju katoda. Detektor gas isian dengan tegangan V yang relatif rendah seperti ini dinamakan detektor ionisasi.

Siklus pembentukan sinyal listrik berakhir ketika ion sampai di katoda. Namun demikian, ion-ion ini dapat menumbuk katoda sehingga dapat menumbuk katoda sehingga dapat dihasilkan elektron dari katoda sehingga dapat memicu terjadinya proses ionisasi sekunder. Untuk menghindari agar proses ini tidak terjadi maka gas pengisi pada detektor adalah gas dengan struktur molekul sederhana misalnya gas argon dan gas dengan struktur molekul kompleks seperti ethanol.