Selasa, 28 Juni 2011

Sedikit Berbelok

Wah, sepertinya blog ku ini akan menjadi tempat curhatku sementara. Ya, ga apa lah.. toh juga ini blog punyaku sendiri.Ga akan ada yang marah kalau aku menyampaikan keluh dan kesahku dalam tulisan. Yang penting, tidak merugikan orang lain. Baik yang membaca, melihat atau sekedar lewat.

Hari ini, aku sempat lupa hari apa. Maklum, sejak kepindahanku ke kamar yang baru, kalender yang biasanya kulihat dan kucoreti masih tertinggal di kamar yang lama. Maklum lah.. anak kos, jadi agak sedikit malas untuk merapikan kamar seperti dulu lagi. Namun, bukan itu yang menyebabkan aku lupa akan hari. Hal terpenting yang menjadi penyebab semua ini adalah berbeloknya arah penelitian yang selama ini aku rancang. Dari awalnya dengan tujuan benzo(a)pyrene, berubah menjadi agak ke fenolan.

Fenol.. atau dalam bahasa aslinya phenol. Entah apa itu, aku tidak tahu. Seakan sesuatu yang baru yang belum pernah menyentuh kehidupanku. Benar-benar baru dan sangat asing di telingaku. Walaupun sebenarnya dalam keseharianku baik selama perkuliahan maupun praktikum yang aku lakukan, aku sering bersinggungan dengan phenol ini.

Kata asing ini harus segera aku pelajari dengan seksama. Karena mau tidak mau dia juga yang menentukan hidupku kelak. Jangan sampai dia menghancurkan hidupku. Oh Tuhan, tolonglah hambamu ini. Kuatkanlah pundakku agar bisa menahan beban yang lebih banyak dan lebih berat dari sebelumnya. Aku ingin agar hidupku berguna bagi orang lain. Dan hal itu bisa aku lakukan lebih baik jika aku telah menyelesaikan penelitian yang selama ini aku sia-siakan. Tidak akan ada lagi keluh kesahku yang lain. Hari ini aku berjanji, akan selalu fokus akan tujuanku ini. Kumohon Engkau untuk selalu mengingatkanku. Amin....

Om Awignam Astu Namo Siddham....

Senin, 27 Juni 2011

Teman kecil yang bernama "S"

Aku punya teman kecil, namanya S. Dia orangnya ramah dan baik hati. Tidak pernah rewel untuk selalu diperhatikan. Tidak seperti teman-temanku yang lainnya, dia tidak pernah minta diajak jalan-jalan. Walaupun terkadang aku yang sering mengajaknya keluar kota. Hanya untuk menemani kesepianku terhadap rutinitas yang selama ini aku geluti.

Belakangan ini aku memang sempat menelantarkannya. Jarang berkunjung ke rumahnya di daerah L. Hal ini terjadi karena aku banyak mengambil kegiatan yang sebenarnya masih bisa aku tunda. Tapi entah mengapa, aku masih saja lebih suka mementingkan pekerjaan orang lain ketimbang diriku sendiri. Pengabdian, memang itulah yang menjadi tamengku selama ini. Dengan itu aku berharap agar kelak sesuatu yang lebih baik akan datang kepadaku tanpa harus menghabiskan tenaga dan uang yang banyak seperti halnya teman-temanku yang lain.

Namun sekarang aku akan selalu memperhatikannya. Tidak akan pernah lepas darinya, ya paling tidak untuk dua tiga bulan ke depan. Demi masa depan. Karena baru kini ku sadar kalau dia adalah penentu hidupku ke depan. Tidak semata hanya sebagai teman yang dapat kuingat dan kulupakan kapan saja aku mau, tapi dialah segalanya. S, maafkan kelalaianku selama ini. Aku janji deh,,, ga akan seperti dulu lagi. Kamulah segalanya... 

Rabu, 22 Juni 2011

Latar belakang skripsi, part I


By: agus wahyu
Pengasapan merupakan proses pengolahan bahan makanan yang seringkali digunakan pada pengolahan daging, ikan, dan bahan makanan lainnya. Pengasapan ini berfungsi selain menurunkan kadar air juga mengembangkan warna, cita rasa yang spesifik dan menghambat mikrobia. Proses pengasapan secara tradisional dengan menggunakan asap pembakaran secara langsung mempunyai beberapa kelemahan seperti kualitas yang kurang konsisten, kesulitan pengendalian prosesnya, terdepositnya ter pada bahan makanan sehingga membahayakan kesehatan. Pengasapan juga menyebabkan pencemaran lingkungan serta memungkinkan bahaya kebakaran (Amriah, 2006).
Kelemahan-kelemahan di atas dapat diatasi dengan mengembangkan proses pengasapan menggunakan asap cair, yaitu campuran larutan dari dispersi uap asap kayu dalam air (Amriah, 2006). Asap Cair atau lebih dikenal sebagai liquid smoke merupakan suatu cairan hasil destilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain (Nurhayati, 2000). Pembakaran bahan-bahan ini dilakukan melalui proses pirolisis. Pirolisis merupakan proses pengarangan dengan cara pembakaran tidak sempurna bahan-bahan yang mengandung karbon pada suhu tinggi. Kebanyakan proses pirolisis menggunakan reaktor bertutup yang terbuat dari baja, sehingga bahan tidak terjadi kontak langsung dengan oksigen. Umumnya proses pirolisis berlangsung pada suhu diatas 300 oC dalam waktu 4-7 jam (Paris et al, 2005). Asap dari proses pirolisis inilah yang kemudian ditampung untuk selanjutnya menjadi asap cair.
Asap cair pada proses ini diperoleh dengan cara mengkondensasi asap yang dihasilkan melalui cerobong pirolisis. Proses kondensasi asap menjadi asap cair sangat bermanfaat bagi perlindungan pencemaran udara yang ditimbulkan oleh proses tersebut. Selain itu, asap cair yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku pengawet, antioksidan, desinfektan, ataupun sebagai biopeptisida (Nurhayati, 2000).
Bahan baku yang banyak digunakan untuk pembuatan asap cair adalah kayu, bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu, sekam padi, tempurung kelapa dan lain-lain. Komposisi asap cair telah diteliti oleh Pettet dan Lane pada tahun 1940, dimana diperoleh hampir 1000 macam senyawa kimia. Beberapa jenis senyawa yang telah diidentifikasi yaitu 85 fenolik, 45 karbonil, 35 asam, 11 furan, 15 alkohol dan ester, 13 lakton, dan 21 hidrokarbon alifatik ( Girard, 1992). Menurut Maga (1987), komposisi asap cair dari bahan kayu terdiri atas 11-92% air, 0,2-2,9% fenolik, 2,8-4,5% asam organik, dan 2,6-4,6% karbonil. Sedangkan Bratzer et al (1996) menyatakan komponen utama asap cair dari kayu adalah 24,6% karbonil, 39,9% asam karboksilat, dan 15,7% fenolik.
 Saat ini, asap cair dari tempurung kelapa lebih banyak diminati oleh konsumen karena memberikan cita rasa yang khas pada awetan bahan makanan dari pada asap cair yang dihasilkan bahan baku lainnya (Darmadji, 1997). Asap cair dari tempurung kelapa mengandung berbagai senyawa yang terbentuk akibat terjadinya pirolisis tiga komponen utamanya yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam asap cair tempurung kelapa telah diidentifikasi (Darmadji, 1997). Asap cair tempurung kelapa memiliki kemampuan untuk mengawetkan makanan dengan cepat. Hal ini terjadi karena asap cair dari tempurung kelapa memiliki komponen aktif senyawa fenolat yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan bahan lainnya. Senyawa fenol berperan sebagai antioksidan dengan aksi mencegah proses oksidasi senyawa protein dan lemak sehingga proses pemecahan senyawa tersebut tidak terjadi dan memperpanjang masa simpan produk yang diasapkan. Masa simpan dari produk asapan ditentukan dari jumlah komponen penyusun asap cair.
Komponen-komponen penyusun asap cair ditemukan dalam jumlah yang bervariasi, tergantung dari jenis bahan, umur tanaman, dan kondisi pertumbuhan tanaman seperti iklim dan tanah. Perbedaan komponen ini kemungkinan akan ditemukan pula pada asap cair yang dihasilkan oleh pembuat arang di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana-Bali. Para pembuat arang di Desa Yehembang telah melakukan pengembunan asap yang dihasilkan dari proses pembuatan arang batok kelapa maupun kayu dengan menggunakan alat sederhana (Tika, 2010) yang telah menghasilkan asap cair. Asap cair yang dihasilkan berwarna hitam pekat dan bercampur dengan tar. Setelah melewati proses destilasi, maka asap cair ini termasuk ke dalam golongan grade 3, yang harus ditreatmen lebih jauh jika ingin digunakan untuk pengawet makanan.
Asap cair grade 3 belum layak digunakan untuk pengawet makanan atau penambah cita rasa (flavours) karena bersifat toksik. Sifat toksik ini disebabkan oleh adanya kandungan senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) yang terbentuk selama proses pirolisis bahan pembuat asap cair. Salah satu senyawa HPA yang terbentuk adalah benzopyrene.
Benzopyrene adalah salah satu jenis HPA yang paling dihindari karena memiliki efek karsinogenik dan menyebabkan kanker (Yoshiaki, 2005). Benzopyrene juga telah dinyatakan sebagai senyawa karsinogenik untuk manusia dan binatang oleh IARC (International Agency for Research on Cancer) (IARC, 1983). Benzopyrene memiliki rumus molekul C20H12 dan berat molekul 252,3148. Senyawa ini memiliki titik didih 4950 C dan titik lebur 176,5o C sehingga berupa padatan pada suhu kamar. Benzopyrene tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzena dan sikloheksana (Daun, 1979). Kandungan benzopyrene yang diijinkan dalam produk makanan adalah sebesar 1 ppb (0,001 ppm) (IARC, 1983).
Untuk mengurangi kandungan senyawa benzopyrene, maka asap cair grade 3 harus dimurnikan terlebih dahulu. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memurnikan asap cair agar dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Salah satunya yaitu dengan cara adsorpsi dengan menggunakan adsorben. Adsorpsi merupakan proses dimana zat yang akan diserap hanya menempel pada bagian permukaan zat penyerap. Adsorben yang banyak digunakan dewasa ini adalah zeolit aktif dan arang aktif.
Dengan cara ini, maka kandungan benzopyrene yang masih terikat dalam tar yang ada pada asap cair grade 3 diharapkan akan berkurang dan berada di bawah ambang batas sehingga aman untuk dikonsumsi. Untuk mengetahui apakah asap cair yang telah dihasilkan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, maka perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair. Komponen asap cair yang telah dimurnikan akan diidentifikasi dengan menggunakan GC-MS.Mengingat pentingnya mengurangi senyawa berbahaya yang terdapat di dalam asap cair, maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji pengaruh  penggunaan adsorben zeolit aktif serta arang aktif dalam proses pemisahan dan pemurnian senyawa berbahaya yang terkandung di dalam asap cair grade 3, sehingga aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet makanan.

Gula sebagai katalisator industri

Peneliti-peneliti dari Jepang berhasil menemukan bahwa gula dapat dipergunakan sebagai katalisator dalam proses produksi biodiesel. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam majalah ilmiah terkemuka Nature edisi 438 tanggal 10 November 2005. Dalam penelitian tersebut terlebih dahulu dilakukan pirolisa gula pada suhu di atas 300 derajat Celsius untuk membentuk struktur karbonasi yang tidak sempurna, kemudian ditambahkan gugus sulfonat, dan akhirnya terbentuk struktur lembar karbon polisiklis aromatik berisikan gugus sulfonat. Senyawa inilah yang dijadikan katalis dalam produksi biodiesel. Dengan penemuan ini produksi biodiesel melalui proses transesterifikasi menjadi relatif lebih hemat biaya produksi.
Proses Transesterifikasi dan Produksi BiodieselProduksi biodiesel dari tumbuhan yang umum dilaksanakan yaitu melalui proses yang disebut dengan transesterifikasi. Transesterifikasi yaitu proses kimiawi yang mempertukarkan grup alkoksi pada senyawa ester dengan alkohol. Untuk mempercepat reaksi ini diperlukan bantuan katalisator berupa asam atau basa. Asam mengkatalisis reaksi dengan mendonorkan proton yang dimilikinya kepada grup alkoksi sehingga lebih reaktif.Pada tanaman penghasil minyak, cukup banyak terkandung asam lemak. Secara kimiawi, asam lemak ini merupakan senyawa gliserida. Pada proses transesterifikasi senyawa gliserida ini dipecah menjadi monomer senyawa ester dan gliserol, dengan penambahan alkohol dalam jumlah yang banyak dan bantuan katalisator. Senyawa ester, pada tingkat (grade) tertentu inilah yang menjadi biodiesel. Dalam proses transesterifikasi untuk produksi biodiesel dari tumbuhan, biasanya digunakan asam sulfat (H2SO4) sebagai katalisator reaksi kimianya.Selain proses transesterifikasi, dalam produksi biodiesel juga melalui tahapan : pengempaan jaringan tanaman (misalnya biji) menghasilkan minyak mentah ; pemisahan (separator) fase ester dan gliserin ; serta pemurnian / pencucian senyawa ester untuk menghasilkan grade bahan bakar (biodiesel).
Skema sederhana produksi biodiesel melalui proses transesterifikasiGula, sebagai Katalisator Produksi Biodiesel, manfaat bagi IndonesiaMeskipun berbagai jenis bahan kimia dianggap cukup berhasil dipergunakan sebagai katalisator dalam proses transesterifikasi untuk produksi biodiesel, akan tetapi bahan-bahan seperti ini dianggap cukup mahal untuk dipergunakan dalam suatu proses produksi berskala besar. Di samping itu, limbah bahan-bahan kimia ini tentunya akan menjadi masalah lingkungan tersendiri.Penggunaan gula yang telah diubah bentuknya cukup prospektif untuk dipergunakan sebagai katalisator proses transesterifikasi ini. Gula sebagaimana kita ketahui, merupakan senyawa organik yang limbahnya dapat didaur ulang. Selain itu, gula dianggap relatif lebih murah untuk dipergunakan untuk sebuah proses produksi berskala besar, dibandingkan bahan kimia asam sulfat atau asam dan basa lainnya.Berita hasil penelitian ini tentunya cukup bermanfaat bagi Indonesia. Indonesia melalui koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat, saat ini sedang giat-giatnya mengkampanyekan pengembangan energi terbarukan 'biodiesel', terutama dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Salah satu BUMN yang cukup mendukung pengembangan biodiesel ini adalah PT. RNI (Rajawali Nusantara Indonesia). Sebagai badan usaha yang mempunyai bidang usaha utama (core business) pada manajemen pabrik gula nasional, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam meningkatkan efisiensi produksi biodiesel, yaitu dengan menggunakan gula sebagai katalisator produksinya.

sumber : http://iptb.blogspot.com/

Minggu, 29 Mei 2011

The LifeStraw makes dirty water clean

By Mike Hanlon
More than one billion people – one sixth of the world’s population - are without access to safe water supply. At any given moment, about half of the world's poor are suffering from waterborne diseases, of which over 6,000 – mainly children – die each day by consuming unsafe drinking water. The world’s most prolific killer though is diarrhoeal disease from bacteria like typhoid, cholera, e. coli, salmonella and many others. Safe water interventions have vast potential to transform the lives of millions, especially in crucial areas such as poverty eradication, environmental upgradation, quality of life, child development and gender equality. LifeStraw was developed as a practical response to the billions of people who are still without access to these basic human rights.

The aptly-named LifeStraw is an invention that could become one of the greatest life-savers in history. It is a 25 cm long, 29 mm diameter, plastic pipe filter and costs just a few dollars (the manufacturers originally informed us the price was around US$2.00 but the price is now under review and we'll be posting a new price shortly. The most prolific killer of human beings in developed countries is the automobile, followed by a host of diseases resulting mainly from an indulgent lifestyle.

Millions of people perish every year because they simply don’t have clean water to drink. Until now, there was not much we could do about this because systems to clean water were costly and required electricity and spare parts and and and … but the LifeStraw now offers a viable means of saving tens of millions of lives every year.

LifeStraw is a personal, low-cost water purification tool with a life time of 700 litres – approximately one year of water consumption for one person. Positive test results have been achieved on tap, turbid and saline water against common waterborne bacteria such as Salmonella, Shigella, Enterococcus and Staphylococcu.
If we (as in the big WE) can find a way of manufacturing and distributing one of these to each human at risk, every year, we could save countless lives (now there’s a noble outcome for the tech blogs and mags of the world to work together to promote this). Each LifeStraw lasts for one person’s annual needs of clean water – a simple straw costing a few dollars will ensure that one at-risk person will not die for a year - now that's a donation we can all make with a serious kicker!

This LifeStraw was designed with special emphasize on avoiding any moving parts, as a sealed unit with no replaceable spare parts, and avoiding the use of electricity, which does not exist in many areas in the 3rd world. But as force (power) is required to implement the filtering, Vestergaard Frandsen chose to use the natural source of sucking, that even babies are able to perform. A brief technical rundown is available at MedGadget, the internet journal of emerging medical technologies.

Vestergaard Frandsen have managed to produce this product at a price that people in this business find hard to believe, but believed it had to achieve a price affordable to the Third World consumer.
The original idea was created ten years ago by Torben Vestergaard Frandsen, but over the years in partnersjhip with The Carter Center, Rob Fleuren from Holland and Moshe Frommer from Israel, the Lifestraw emerged from work designed to make water filters capable of safeguarding against Guinea Worm. The invention which emanated from the work, the, LifeStraw, can keep away bacteria and diseases like diphtheria, cholera and diarrhoea.

We’ll have more information on LifeStraw in the next week . In the meantime, LifeStraw has been nominated for a prestigious and vitally important INDEX: AWARDS
INDEX: Awards focus specifically on design that significantly improves life for a large number of people and there’s a lot more information available in their nomination lists on the LifeStraw.
The LifeStraw web site is now open. Our suggestion is that if you are involved in a charity or community group, you make your group aware of this invention and its potential to improve the lives of millions of our less fortunate planetary brethren.

In the meantime, LifeStraw supplied this list of FAQs
Q1. What is LifeStraw? LifeStraw is a portable water purification tool that cleanses surface water and makes it safe for human consumption. It is just 25 cm long and 29 mm in diameter and can be hung around the neck. LifeStraw requires no electrical power or spare parts.

Q2. What does LifeStraw do? LifeStraw filters up to 700 litres of water and effectively removes most of the micro organisms responsible for causing waterborne diseases.

Q3. Which diseases will LifeStraw prevent? LifeStraw kills disease causing micro organisms which spread diarrhoea, dysentery, typhoid, and Cholera.

Q4. Which disease-causing micro organisms are filtered by LifeStraw? LifeStraw filters bacteria such as Shigella, Salmonella, Enterrococus, Staphylococcus Aureus and E.Coli

Q5. Are there any tests to prove this? LifeStraw has been tested by independent and qualified research laboratories.

Q6. How does LifeStraw function? LifeStraw contains PuroTech Disinfecting Resin (PDR) - a patented, extraordinarily effective material that kills bacteria on contact. Textile pre-filters are used in the LifeStraw to remove particles up to 15 microns. Active carbon withholds particles such as parasites.

Q7. What do the tests and research studies indicate? The studies indicate the following:
The level of bacteria in the water will be reduced to levels that will provide water safe for human consumption. ‘Safe’ implies water from which any health risk is minimal. The particulate removal suggests that the number of any parasitic ova in raw water will also be reduced significantly. The released amount of iodine in water treated from LifeStraw is not normally damaging to human health. However, people having thyroid problems and allergic reaction to iodine must seek medical advice before using this tool.

Q8. What is the life expectancy of the LifeStraw? One year from the start of usage (calculation based on consumption of 2 litre water per day) or 700 liters. Use beyond expiry will not deteriorate existing water quality.

Q9. What is the required daily water consumption? The WHO default levels for the quantities of drinking water (reference to WHO drinking water quality guidelines Third edition 2004, Annex III), are: For a 10 kg child, 1 litre water per day - thus 700 days tool For a 60 kg adult, 2 litre water per day - thus a 350 days tool

Q10. Who can use the LifeStraw? Adults and children of any age can use the LifeStraw, provided they have capacity to suck water

Q11. How should LifeStraw be used the first time? First time users are advised to spit out the first couple of mouthfuls (40 ml) as a small amount of harmless black carbon water will be expelled on initial use. First time users may find it difficult to start sucking. This is because a natural brake on the flow of water has been put into the LifeStraw, as a controlled flow between 100 ml to 150 ml per minute is needed to get the maximum benefit of the bacteria killing effect.

Q12. How can LifeStraw be effectively utilised? At regular intervals, it is recommended to blow out the last mouthful of water as well as some air through the LifeStraw. This will clean the pre-filters of whatever sand, silt and debris that might have got stuck in the textile filters.

Q13. Does LifeStraw filter arsenic, iron, fluoride and other heavy metals? No. Q14. What is the impact of saline water on the lifetime of LifeStraw? It is expected that continuously drinking saline water through the LifeStraw would reduce effective life to 350 litres.

Q15. Can I share my LifeStraw with other people? It is not recommended that you share your LifeStraw with others. Any outside contamination of the LifeStraw will not be compensated by inside purification.

Rabies


 Dituangkan dalam IbM Rabies
Oleh Stikes Majapahit Singaraja (Bungkulan)
Penyakit anjing gila (rabies) adalah suatu penyakit menular yang menyerang susunan syaraf pusat, yang disebabkan oleh virus rabies jenis Rhabdho virus yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas termasuk manusia. Rabies menjangkiti lebih dari 150 negara di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 55000 orang meninggal akibat rabies per tahunnya. Di Indonesia, beberapa daerah provinsi dilanda penyebaran rabies dengan tingkat yang mencengangkan.  Satu diantaranya adalah provinsi Bali. Upaya untuk menangkis penyebaran rabies di Bali sangat penting karena Bali merupakan destinasi pariwisata dunia. Berbagai upaya untuk menanggulangi rabies telah banyak dilakukan, yaitu melalui, (1) vaksinasi Var terhadap anjing, (2) eleminasi anjing liar,  (3) pengawasan terhadap lalu lintas hewan, terutama anjing dan kucing ke wilayah yang belum terindikasi rabies, (4) pembuatan posko pengaduan bagi mereka yang tergigit anjing. Namun upaya yang dilakukan itu belum mampu membendung penyebaran rabies di tanah air, terutama di Bali. Saat ini sudah dilakukan vaksinasi anjing sekitar 360.000 ekor dari perkiraan 500.000 populasi anjing di Bali, namun jumlah desa dan penderita terus meningkat, sehingga perlu upaya baru untuk mengatasi penyebaran rabies lebih meluas, karena Bali sebagai sektor pariwisata dunia akan berakibat buruk pada pencitraan pariwisata Indonesia.
Upaya yang perlu digagas adalah dengan mengembangkan model pemberantasan Rabies berbasis desa Adat. Desa adat di Bali memiliki infrastruktur adat, yang terdiri dari elemen adat, aparat adat. Struktur desa adat di Bali dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dari urutan, desa adat posisinya diatas banjar. Kekuasaan desa adat saat ini masih terbatas masalah kultural dan religi. Bali memiliki tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal permukiman. Tidak hanya bentuk bangunannya saja yang khas, tetapi demikian pula halnya dengan pola desanya. Hampir semua desa memiliki pola yang jelas. Kejelasan pola yang dapat dilihat secara fisik adalah adanya batas-batas desa yang berupa elemen alami, serta memiliki kahyangan tiga/kahyangan desa di masing-masing kesatuan permukiman (desa).
Namun, demikian kekuatan desa adat di Bali  mampu mengeleminir segala sesuatu yang terjadi desa Adat, selama ini peran desa adat masih terpinggirkan dalam mengatasi penyakit rabies. Oleh karena itu, perlu dilakukan penerapan model pemberantasan rabies  berbasis desa adat di Bali, sehingga cita-cita membuat Bali bebas Rabies tahun 2012 bisa terwujud
Di desa Sangsit  merupakan masyarakat komunitas yang memiliki jumlah anjing yang banyak rata-rata tiap KK memiliki  1 ekor anjing, sehingga jumlah anjing sekitar 3000- ekor anjing, belum termasuk anjing yang diliarkan oleh pemiliknya.
Berbagai upaya upaya yang dilakukan dalam pencegahan rabies penyiapan SDM terlatih petugas kesehatan seluruh kabupaten kota, dan termasuk ke Desa Sangsit. Pelatihan penyuntikan vaksin yang efektif dan penyiapan sarana serta prasarana kesehatan. Namun kewaspadaan masyarakat Sangsit belum banyak  Nampak nyata, hal ini terbukti bahwa  masih  banyak anjing belum diikat dengan kalung identitas  sudah divaksin. Artinya penduduk  sebagian  belum sadar terhadap ancaman rabies.
Selain itu eliminasi anjing liar di Sangsit dan  vaksinasi terhadap anjing peliharaan pun merupakan salah satu cara  yang belum efektif untuk menanggulangi rabies di Desa Sangsit.  Hingga tahun 2010 ini Pemprov Bali telah memvaksin 360.000 ekor anjing dari jumlah populasi yang diperkirakan mencapai 500.000. Dengan vaksinasi sebanyak 72 persen anjing ini 2,8 juta warga dari 4 juta warga Bali terlindungi. Vaksinasi anjing terus dilakukan di Bali, termasuk di Sangsit  hingga target Bali bebas rabies pada 2012 tercapai. Dalam program penanggulangan ini tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Sejauh ini Pemprov Bali telah menghabiskan dana sebesar Rp 38,4 miliar dan pemerintah pusat akan segera menggelontorkan dana Rp 15 miliar untuk mensukseskan program ini.
Tim penyusun proposal IbM menemukan bahwa warga di desa Sangsit Tindaka  belum mengetahui cara pencegahan  secara sistematis bila terjadi gigitan anjing maupun menghindari terjadinya gigitan anjing. Warga tidak memahami perawatan luka  akibat gigitan. Setelah gigit warga Desa sangsit juga masih menganggap tidak berbahaya sehingga tidak dibawa ke puskesmas, atau kedokter terdekat.
Warga desa Sangsit belum sepenuhnya mengetahui tentang kebijakan pemerintah tentang penangan penyakit rabies secara terintegrasi dan pengendalian terpadu serta pembebasan rabies secara bertahap. Warga Desa Sangsit saat ini belum mengetahui  adanya tim koordinasi rabies di tingkat daerah,  belum tahu ada rabies center di rumah sakit daerah dan puskesmas untuk mencegah rabies pada manusia. Masyarakat Sangsit tidk sepuhnya mendukung kegiatan vaksinasi, eliminasi, dan karantina hewan. 
Oleh karena itu, upaya terpadu harus lebih banyak ditempuh memberikan informasi tentang ancaman dan penanggulangan penyakit rabies di Desa Sangsit sebagai sebuah model pengabdian integrasi antara Pergutuan Tinggi dengan masyarakat desa Sangsit dengan menonjolkan nilai-nilai Desa Adat yang berlaku di Desa sangsit Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. sehingga lebih tercipta masyarakat harmoni dan damai.
 

Tabel 1 Permasalahan, akar masalah dan solusi alternatif

Permasalahan
Akar masalah
Pendekatan pemecahan masalah (solusi)
Warga  desa Sangsit kurang antisipatif tentang  cara pencegahan  penyebaran rabies  
Warga kurang tahu penyakit Rabies
Workshop cara-cara pencegahan Rabies  

Warga tidak memahami perawatan luka  akibat gigitan
Warga kurang tahu dan kurang terampil mengatasi gigitan anjing.
Workshop perawatan luka akibat gigita anjing/kucing.
Setelah gigit warga Desa sangsit juga masih menganggap tidak berbahaya sehingga tidak dibawa ke puskesmas, atau ke dokter terdekat.
Pemikiran warga kurang memahami dampak dari gigitan anjing rabies.
Workshop pencegahan rabies akibat gigita anjing/kucing.
Warga desa Sangsit kurang mendukung  kebijakan pemerintah tentang penangan penyakit rabies secara terintegrasi dan pengendalian terpadu.
Warga kurang memahami kebijakan pemerintah.
Ceramah tentang kebijakan pemerintah  terhadap penangan rabies.
Masyarakat Sangsit kurang berpartisipasi terhadap  kegiatan vaksinasi, eliminasi, dan karantina hewan.
Warga masih banyak yang percaya bahwa njing Bali kebal terhadap rabies.
1.   Workshop tentang  kegiatan vasinasi
2.   Pengadaan vaksinasi massal.

Dibimbing oleh: Dr. I Nyoman Tika, M.Si